Kamis, 23 Mei 2013

Kekerasan dan pengabaian hak terhadap kaum lemah khususnya anak, perempuan dan kaum miskin


A.    Pengertian Kekerasan berbasis gender, kekerasan terhadap perempuan
            Gender adalah konstruksi sosial budaya atas jenis kelamin perempuan dan laki-laki.sesuatu yang dapat berubah sesuai dengan perubahan waktu, kebutuhan dan budaya.dicetuskan pertama kali oleh ann Oakley. Kekerasan berbasis gender bersumber ideology gender yang diyakini penyebab kekerasan dari laki-laki terhadap perempuan.

B.     Jenis jenis kekerasan perempuan
             
            Berbagai permasalahan kekerasan terhadap perempuan muncul, Semua perbuatan tersebut jelas telah melanggar UU No 39 tentang Hak Asasi Manusia. Hal ini sangat disayangkan mengingat Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Kenyataan menunjukkan bahwa berbagai aturan hukum yang sudah ada dan ditujukan bagi perempuan dan anak belum memadai. Berbagai kendala yang harus dihadapi sangat kompleks terutama ketika korban harus berhadapan di muka hukum. Bahkan ada kecenderungan tidak berpihak pada perempuan maupun anak sebagai korban.

1.      Kekerasan seksual dan psikis
            KDRT merupakn bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling dominan. Data KDRT Komnas perempuan Tahun 2009 menunjukkan jumlah kekerasan terhadap istri (96% dari seluruh jumlah KDRT). sisanya mencakup kekerasan dalam pacaran (KDP), kekerasan yang dilakukan oaleh mantan pacar, mantan suami dan kekerasab pekerjaan rumah tangga. KDRT bisa terjadi pada semua orang yang masih dalam lingkup satu rumah, dan kebanyakan korbannya perempuan dan anak-anak. Namun, banyak kasus KDRT yang tidah terungkap di muka hukum karena adanya banyak faktor, antara lain karena masyarakat tidak mengetahui bahwa kekerasan yang dialami bisa diproses di muka hukum, karena adanya ancaman oleh pihak tertentu sehingga menimbulkan rasa takut atau pun karena rasa malu jika kasusnya diketahui umum, apalagi jika yang terjadi adalah KDRT secara Psikis yang cenderung di abaikan dari pada KDRT secara fisik. Sehingga baru setelah terjadi kekerasan yang berakibat fatal baru dilaporkan. Perlu diketahui bahwa KDRT tidak hanya terjadi secara fisik saja, melainkan dapat berupa psikis, seksual atau pun ekonomi. Fakta di masyarakat menunjukkan masalah utama yang mendorong terjadinya KDRT adalah kurangnya komunikasi antar pihak dalam keluarga, terlebih jika sudah menyinggung masalah palingurgent yaitu ekonomi. Ditambah lagi jika suami atau anggota keluarga memiliki watak temperamental tinggi yang cenderung ringan tangan dalam menghadapi masalah. Di sinilah keadaan perempuan semakin tertindas, acap kali menjadi pelampiasan kemarahan suami. Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai tindak pidana KDRT pun menjadi pemicu semakin tumbuh suburnya kekerasan yang cenderung mengintimidasi perempuan dan anak-anak tersebut. Sehingga perlu adanya sosilalisasi dan relisasi  UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Diharapkan korban KDRT segera melaporkan kepada instansi yang berwajib atau kepada lembaga-lembaga masyarakat terkait kasus yang menimpa mereka.
2.      Kekerasan diranah komunitas
Mencakup kekerasan seksual, eksploitasi seksuala anak, kekerasan tempat kerja, kekerasan yang terjadi terhadap pekerja imigran adan trafficking. Tempat kejadian beragam seperti tempat kerja, di tempat penampungan (PJTKI), di dalam kendaraan, ditempat-tempat umum lainnya dan masih banyak tempat lain.
a.      Kekerasan yang berkaitan dengan negara
terjadi karena dilakukan oleh aparat negara atau yang terjadi karena kebijakan diskriminatif atau pengabaian yang dilakukan oleh negara dalam beragam bentukkya.

b.      Perempuan pekerja imigran
Mereka merupakan salah satu tulang punggung pendapatan negara dalam bentuk devisa yang dihasilkan berkontribusi sebagai penggerak ekonomi keluarga .BNP2TKI sebagai salah satu lembaga yang bertanggungjawab mengatur lalu lintas penempatam pekerja migrant dan menjamin perlindungan HAM pekerja migran, pada tahun 2009 menangani sekitar 7709 kasus. Persoalan tumpang tindih kebijakan dan wewenang antara depnakertrans dan BNP2P2TKI belum dapat terselesaikan. Persoalan yang mendasar yang belum menjadi pemerhati adalah perihal sistem pendataan. sehingga untuk mendapatkan data resmi yang komprehensif secara berkala mengenai jumlah penempatan, kasus hingga pemulangan yang sangat sulit didapatkan. TErkait perlindungan TKI UU yang mengatur Undang-Undang nomor 29/2009 tentang penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonensia (TKI). Tetapi dalam peraturan tersebut, lebih banyak mengatur mengenai penempatan TKI bukan perlindungan. Sehingga perlu direvisi.

c.       Perkawinan yang tidak dicatatkan
            Terkait Perkawinan diatur UU No 10 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sepanjang tahun 2009, Komnas Perempuan menerima pengaduan sebanyak 49 kasus yang berhubungan dengan perkawinan yang tidak dicatatkan. Padahal pencatatan perkawinan penting dilakukan oleh pengantin sebagian jaminan kepastian hukum perkawinannya sebagaimana diamanatkan pasal 2 UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan. kasus kasus tersebut menggambarkan bahwa kasus perkawinan tidak dicatatkan karena berbagai alasan, yaitu :
1.      Kebanyakan alasan menikah tanpa dicatatkan adalah “kemudahan” bagi suami untuk menikahi kembali perempuan lain, baik istri kedua, ketiga dan seterusnya.
2.      Mengatasi perkawinan antar agama
3.      Akibat dari perkawinan todak dicatatkan, amka proses perceraian tidak dapat dilakukan melalui proses peradilan. suami menceraikan istri berdalih agama, walaupun perkawinan mereka sudah dikarunia anak
4.      Perceraian terjadi karena suami tidak pulang ke rumah dan sulit dihubungi. kondisi ini menbuat status hukum istri tidak jelas baik terkait harta gono gini atau terkait hak pengurusan anak. Status hukum yang tidak jelas itu menyulitkan posisi mantan istri yang ingin menikah lagi karena tidak ada akta nikah atau cerai.

d.      Akses perempuan terhadap keadilan, layanan kesehatan dan pendidikan
            Pada bulan april 2009 Komnas Perempuan menerima surat dari OMS Samitra Abhaya kelompok Perempuan Pro-Demokrasi (SA-KPPD) yang meminta dukungan Komnas perempuan atas kasus dikeluarkan PCM seorang siswi SMKN 8 Surabaya. Korban dikeluarkan dari sekolah dan dilarang mengiktu UAN oleh pihak sekolah karena telah hamil 7 bulan. Korban dianggap telah melanggar norma pendidikan serta tata tertib sekolah. pihak sekolah menyarankan korban untyuk mengikuti kejar paket C, dimana korban menolak menerima rekomendasi tersebut[1].
            Kasus siswi hamil dalam masa sekolah bukanlah hal baru di Indonesia dan tindakan yang diambil oleh pihak sekolah hampir seragam, mengeluarkan siswi yang bersangkutan dari sekolah mereka dengan alasan melanggar tata tertib sekolah. Pelarangan siswi hamil untul tetap bersekolah dan mengikuti ujian adalah melanggar Konvensi hak anak yang telah diratifikasi dan telah diundangkan dalam UU Perlindungan anak No 23 Tahun 2002. Selain itu perlakuan diskriminatif dan pelanggaran hak anak ini sesungguhnya juga melanggar Convention on the Elimination of All from discrimination Against Women (CEDAW) yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No 7 tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Pengha[pusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

e.       Kekerasan oleh pejabat publik dan tokoh masyarakat
            Angka pelaporan kekerasan terhadap perempuan dengan pelaku pejabat publik atau tokoh masyarakat terus muncul setiap tahunnya. Komnas perempuan meyakini bahwa masih banyak korban yang diam atau menutup mulut karena penanganan korban untuk kasus seperti itu belumlah terbangun, sehingga koeban memilih untuk bungkam. Sementara di pihak pelaku dan ataun institusi di mana pelaku bekerja, termasuk juga reaksi masyarakat ditemui pola pengingkaran, pengabaian dan pembungkaman atas tuntutan korban, yang bermuara pada reviktimisasi dan jauhnya penyelesaian kasus dari keadilan.

f.       Kekerasan Media : reality show rentang konflik dalam hubungan intim
            Maraknya tayangan reality show yang menampilkan konflik hubungan intim. di satu sisi bisa dilihat sebagai asalah satu keberhasilan upaya gerakan permpuan di Indonesia dalam mengavodkasi persoalan KDRT . Keberadan UU No 23 tahun 2004 membuat masyarakat melek terhadap persoalan ini. Masyarakat mulai memandang bahwa membicarakan persoalan kekerasan dalam hubungan intim seperti kasus KDRT buaknlah tabu dan dilarang. Dalam konteks bhubunhn gender dalam acara tersebut perempuan sering menjadi pihak yang dipersalahkan. dalam posisi yang dipersalahkan, peremouan sering tidak memiliki ruas yang sama luas dengan laki laki dalam memberikan pembelaan. Dalam upaya penyelesain konflik acara reality show justru menonjolkan unsur kekerasan berbasis gender yang mengabaikan hak hak korban, termasuk dalam menyalahkan korban. Mengingat komitmen  negara Indonesia untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Maka  Komnas perempuan mendorong Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk ikut mengawasi muatan tayangan dengan menggunakan lensa keadilan gender. Media juga perlu memenuhi tanggungjawab sosialnya untuk melakukan pendidikan dan perubahan sosia; menuju tatanan masyarakat yang demokratis dan menjunjung HAM bagi semua dengan tidak menampilkan tayangan yang mengkerdilkan posisi dan peran perempuan, apalagi mempermasalahkan perempuan korban kekerasan.[2]

C.    Bantuan Hukum kepada Perempuan korban kekerasan

            Kegiatan pemberian bantuan hukum merupakan salah satu faktor penting dalam menegakkan hak asasi manusia dalam rangka menjaga dan menjamin tegaknya hak dan kewajiban untuk mewujudkan suasana tertib. Pengakuan terhadap HAM terkait dengan persamaan di muka hukum telah diatur dalam pasal 28D ayat 1 amandemen kedua UUD 1945, yang memberikan jaminan terhadap pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama, bagi setiap orang. Bantuan hukum adalah segala usaha, pekerjaan dan kegiatan yang dilakukan dengan jalan memberikan pembelaan hukum kepada Pimpinan, Satuan Organisasi, anggota masyarakat yang dilaksanakan dalam bentuk pembelaan secara langsung di muka sidang Pengadilan. Kegiatan dapat melibatkan pihak lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam prakteknya lembaga bantuan hukum tidak saja berurusan dengan soal-soal di meja hijau pengadilan, tetapi juga tidak dapat mengelakkan diri untuk menangani pula masalah masalah penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang dari badamn atau pejabat pemerintah sendiri, bahkan juga oleh yang lazim disebut sebagai oknum “alat negara”.Pemberian bantuan hukum untuk menekankan tuntutan agar sesuatu hak yang  telah diakui oleh hukum akan tetapi yang selama ini tidak pernah diimplementasikan untuk tetap di hormati. pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan, belum terpenuhi secara optimal. Bahwa perlu jaminan penyelenggaraan bantuan hukum cuma-cuma bagi orang miskin yang diatur dengan UU. Adanya program bantuan hukum juga merupakan bagian yang terpenting dari rekognisi dan perlindungan hak asasi manusia. Pemberian bantuan hukum yang dimaksud disini adalah yang khusus diberikan kepada kaum miskin dan buta huruf. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari program bantuan hukum kepada kaum miskin dan buta huruf adalah untuk terwujudnya akses keadilan (access to justice) yang merata. Salah satu bentuk dari bantuan hukum tersebut adalah adanya pembelaan atau pendampingan dari seorang advokat (access to legal counsel).  Bahwa bantuan hukum Cuma-Cuma adalah tanggung jawab Negara terhadap warga negaranya. Untuk itu, jika selama ini beban bantuan hokum hanya diberikan kepada advokat, maka sudah saatnya pola ini dirubah. Dimana advokat hanya menjadi pelaksana teknis pemberian bantuan hokum, namun penanggung jawabnya tetap berada di pemerintah dan lembaga-lembaga dibawahnya. Selama ini, advokat yang menolak pemberian bantuan hokum Cuma-Cuma bagi masyarakat yang kurang mampu, tidak mendapatkan sanksi apa-apa selain dari organisasi advokat yang bersangkutan. Tidak diperoleh sama sekali sanksi tegas terhadap penolakan pemenuhan hak dasar bantuan hukum tersebut.
            Diperlukan tenaga pendamping bantuan hukum, diluar profesi advokat yang sudah ada. Tenaga pendamping ini bisa diwujudkan dalam bentuk “Para legal”, atau mereka yang memiliki kecakapan khusus dibidang hukum dan dapat mendampingi masyarakat yang membutuhkan, dalam rangka mewujudkan keadilan bagi masyarakat kita. Kita harus mendorong keberadaan pemahaman bahwa permasalahan bantuan hokum tidak hanya dimonopoli oleh advokat semata. Pemberian bantuan hukum tersebut antara lain :

1.      Komnas Perempuan
            Adanya Komnas Perempuan adalah sebagai bentuk perwujudan institusi HAM yang dibentuk oleh negara untuk merespon isu isu hak-hak perempuan sebagai HAM. Mandat utama Komnas HAM adalah mengupayakan adanay kebijakam yang melindunhi perempuan. Komnas perempuan bukan merupakan lembaga yang menerima dan menangani langsung korban kekerasan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh organisasi pendamping korban. Ia memantau bagaimana kasus tersebut ditangani untuk memastikan lembaga penyedia layanan di pemerintah dan masyarakat memenuhi hak hak korban. Komnas Perempuan membangun mekanisme rujukan kasus dan membentuk unit rujukan untuk membantu korban yang mencari informasi secara langsung ke Komnas perempuan atau dengan melalui surat. Unit ini akan merujuk korban kepada lembaga penyedia layanan sesuai dengan kebutuhan korban. Komnas perempuan mengembangkan perangkat pendokumentasian kasus dan membentuk mekanisme pelapor khusus, yaitu seorang yang diberi mandat untuk mengembangkan mekanisme dan program komperhensif untuk menggali data dan informasi serta pendokumentasian pengalaman-pengalaman perempuan sehubungan dengan adanya kekerasan dan diskriminasi.    Sejak tahun 2006, Komnas Perempuan telah memiliki standar formulir pengisian data. Data standar yang dipantau adalah tentang kondisi lembaga-lembaga pengada layanan, hambatan yang dihadapi dalam pencatatan, juga dalam pelayanan berbagai kasus. Formulir tersebut kemudian akan dievaluasi setiap tahun, dalam evaluasi setiap tahunnya Komnas perempuan mengeluarkan catatan tentang kekerasan tersebut. Tujuannya adalah selain mendapat masukan atas format formulir juga untuk meningkatkan kerjasama dan komunikasi antar lembaga.Angka pelaporan terus muncul setiap tahun. Namun, Komnas perempuan tetap meyakini bahwa masih banyak korban yang diam atau tutup mulut, karena penanganan korban baik dari aspek hukum, sosial maupaun kebijakan institusi untuk kasus seperti ini belumlah terbangun dengan baik. Terbukti ditemuinya pola pengingkaran, pengabaiaan.
            Mandat utama Komnas Perempuan adalah mengupayakan adanya kebijakan yang melindungi perempuan korban. Bersama dengan kelompok perempuan dan kelompok masyarakat lainnya. Komnas Perempuan telah berhasil mendorong terbentuknya UU No 23 Tahun 2004 tetntang KDRT dan UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban. Komnas perempuan terus berupaya agar UU yang tersedia tersebut dapat diimplemmentasikan dan korban dapat mengakses perlindungan dan layanan sebagaimana diamanatkan dalam UU tersebut.

2.      Kelompok kelompok pemerhati perlindungan terhadap perempuan :
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
Lembaga Hak Perempuan dan Anak (LPHP-A)
Aliansi Peduli Perempuan
Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Perempuan dan Keluarga (LBHK PEKKA)
Badan Keluarga berencana dan Pemberdayaan Perempuan
Lembaga swadaya Masyarakat (LSM)
Badan Nasional Penempatan dan perlindungn Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI)
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A)
Forum Komunikasi Buruh Migran Sepakat (FOKBURAS)
Unit Pelayanan peempaun dan anak (UUPA)
Forum Peduli Anak Atambua (FPPA)
Women crisis centre (WCC)
Forum Pemerhati Masalah Perempuan Sulawesi Selatan (FPMPSS)
Pemerhari Buruh Migran Indonesia (PBMI)
Jarinan Lembaga Swadaya Masyarakat Penanggulangan Pekerja Anak Indonesia (JARAK)
Advokasi Pekerja Migran Indonesia (ABMI)
Lembaga Bantuan Hukum

Lembaga kajian untuk transformasi Sosial (LKTS)

** Sumber : data Komnas Perempuan
                       

D.    Kondisi perlindungan hukum dari pemerintah
1.      Negara mulai melakukan pembenahan penegakan hukum bagi korban kekerasan terhadap perempuan baik ditingakt perundang-undangan (seperti UU PKDRT, PP no.4/2006) dan kebijakan (MoU Apik-Kejagung, SPM KPP &PA, MoU 6 Lembaga, Perkapolri soal HAM). namun tidak berarti bahwa keadilan terhadap perempuan korban kekerasan tersebut sudah terpenuhi, karena masih terkendala peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperi KUHP, KUHAP dan UU Pengadilan HAM, akses terhadap keadialn yang diselesaikan oleh non negara dan budaya hukum aparat penegak hukum dan masyarakat yang masih bias gender.
2.      Negara belum menghapuskan dan mencegah lahirnya Perda diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi, terutama terkait isu moralitas, termasuk draft qanun jinayat di Aceh. Ada kecenderungan beberapa pemerintah daerah di dalam proses penyusunan perda-perda diskriminatif masih terkesan melakukan duplikasi dengan perda serupa di daerah lain.
3.      Negara belum membuat langkah langkah yang sistemik dalam perlindungan pekerja imigran, terlihat masih belum ada sinkronisasi diantara pembuat kebijakan dalam penanganan korban pekerja imigran, penyelesaian masih kasuistis dan masih belum mengakomodasika data kuantitatif dari tingginya kasus kasus pelanggaran hak asasi pekerka imigran terutama perempuan.
4.      Negara belum optimal mengupayakan pemuliahn hak korban pekerja migran yang bermasalah khususnya pekerja migran yang mengalami kekerasan seksual seperti pemerkosaan, penghamilan dan kekerasan psikis, cacat permanen, karena upaya pemulihan saat ini yang cenderung menangani persoalam  per pekerjaan.
5.      Negara masih belum berkomitmen atas pelaksanaan amanat tindakan khusus sementara (affirmative action) bagi partisipasi perempuan dalam politik dan kelembagaan yang menangani perlindungan perempuan dan hak asasi peremouan terlihat masih rentannya isu penghapusan dan peleburan kelembagaan, belum optimalnya kebijakan dan anggaran yang memberin perlindungan terhadap perempuan dan pemajuan hak asasi perempuan
6.      Negara belum memberikan jaminan hukum bagi pembela HAM khususnya perempuan, sehingga masih terjadi kerentanannya atas kekerasan fisik, psikis, dan status hukumnya[3]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar