Kamis, 23 Mei 2013

10 PERMASALAHAN UTAMA BANGSA INDONESIA DI TAHUN 2012


10 PERMASALAHAN UTAMA BANGSA INDONESIA DI TAHUN 2012

Perhelatan panjang hidup manusia selama tahun 2012 kini telah berakhir. Banyak permasalahan pelik dan suka duka seluruh bangsa ini tercoreng dalam catatan buku harian bangsa ini. Baik berupa korupsi, kemiskinan, pengangguran, kelaparan dan lainnya tampak mewarnai kehidupan sehari-hari. Demikian juga krisis politik mungkin dikatakan telah menjadi bagian dari itu semua. Sesaat mulai meninggalkan tanggal 31 Desember 2009 itu adalah nafas terakhir di tahun ini, Bisa dilihat mulai malam itu ketika detik terakhir menjelang pukul 24.00. dengan pesta-pora seluruh masyarakat baik dari berbagai kalangan tumpah ruah untuk merayakan tahun baru. Inikah bangsa indonesia, sebagai bangsa yang selalu lupa akan penderitaan panjang dan tersistem. Seolah ritualitas akhir tahun ini mencairkan permasalahan ekonomi, politis sosial dan budaya bangsa ini.
Di akhir tahun 2012 ini terdapat 10 besar masalah bangsa selama tahun 2012 yang patut direnungkan oleh semua pihak. Perenungan itu ada di dalam diri sendiri  dan di lingkungan keluarga. Adakah masalah tersebut juga ada di dalam lingkup terkecil itu. Bila tidak ada baru bisa melangkah permasalahan ada di lingkungan kita. Bila masalah korupsi, kebihongan dan kekerasan pada lingkungan maka sebaiknya sebelum nya kita wajib introspeksi diri sendiri, sebelum berkoar-koar di luar sana dalam bentuk opni, demonstrasi dan kegiatan hura-hura seremonial lainnya.
Sepuluh  besar permasalahan bangsa ini disusun oleh Koran Anak Indonesia berdasarkan besarnya perhatian masyarakat dan besarnya dampak yang ditimbulkan bagi masyarakat dan bangsa ini. Besarnya perhatian masyarakat diukur dari kualitas dan kuantitas masalah tersebut diungkapkan oleh media masa cetak atau elektronik dan perbincangan hangat masyarakat dalam kehidupan sehari hari.
10 BESAR PERMASALAHAN BANGSA INDONESIA DI TAHUN 2009 VERSI KORAN ANAK INDONESIA
  1. Korupsi sebagai penyakit bangsa yang belum teratasi
  2. Ketidak Percayaan masyarakat terhadap Lembaga peradilan dan Penegak hukum
  3. Krisis ketidakpercayaan dan demoralisasi pada politikus di DPR
  4. Buruknya sistem birokrasi di pemerintahan mulai dari level paling bawah hingga ke atas
  5. Hancurnya Perekonomian Global yang sedikit berimbas pada perekonomian bangsa
  6. Permasalahan Korupsi Nazarudin dan beberapa elit Partai demokrat
  7. Masalah NARKOBA yang mengancam generasi produktif bangsa ini
  8. Angka Kemiskinan dan pengangguran yang masih besar
  9. Masalah kesejahteraan dan kesehatan yang masih mengancam khususnya HIV AIDS, malnutrisi (kurang gizi) dan kesehatan ibu dan anak
  10. Kekerasan dan pengabaian hak terhadap kaum lemah khususnya anak, perempuan dan kaum miskin
Semoga dengan teridentifikasinya permaslahan besar bangsa ini dapat dijadikan renungan semua pihak bahwa manusia Indonesia harus bersatu padu untuk memperbaiki dan menghadapi masalah itu. Memperbaiki dan mengatasi masalah  besar bangsa itu bukan dengan saling menyalahkan dan jangan mengganggap diri sendiri paling benar dan paling bersih. Introspeksi harus dilakukan pada diri sendiri. Apakah selama ini moral, etika dan etiket yang ada pada diri kita selama ini sudah berjalan sesuai dengan jalan agama dan aturan hukum yang benar.
Semoga masalah bangsa ini dapat terselesaikan dan tidak diperkeruh oleh kepentingan indvidu setiap manusia. Permasalahan bangsa ini sering diperkeruh oleh kepentingan bisnis media masa dalam menyampaikan berita. Kekacauan akan bertambah rumit karena diperburuk oleh kepentingan partai dan individu para politikus dalam berperilaku politik. Seharusnya semua tindak dan pikir yang dilakukan siapapun dalam mengentaskan permasalahan bangsa itu seharus dilakukan sikap iklas  tanpa pamrih demi kebaikan sesama umat manusia di muka bumi Indonesia ini.

Kekerasan dan pengabaian hak terhadap kaum lemah khususnya anak, perempuan dan kaum miskin


A.    Pengertian Kekerasan berbasis gender, kekerasan terhadap perempuan
            Gender adalah konstruksi sosial budaya atas jenis kelamin perempuan dan laki-laki.sesuatu yang dapat berubah sesuai dengan perubahan waktu, kebutuhan dan budaya.dicetuskan pertama kali oleh ann Oakley. Kekerasan berbasis gender bersumber ideology gender yang diyakini penyebab kekerasan dari laki-laki terhadap perempuan.

B.     Jenis jenis kekerasan perempuan
             
            Berbagai permasalahan kekerasan terhadap perempuan muncul, Semua perbuatan tersebut jelas telah melanggar UU No 39 tentang Hak Asasi Manusia. Hal ini sangat disayangkan mengingat Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Kenyataan menunjukkan bahwa berbagai aturan hukum yang sudah ada dan ditujukan bagi perempuan dan anak belum memadai. Berbagai kendala yang harus dihadapi sangat kompleks terutama ketika korban harus berhadapan di muka hukum. Bahkan ada kecenderungan tidak berpihak pada perempuan maupun anak sebagai korban.

1.      Kekerasan seksual dan psikis
            KDRT merupakn bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling dominan. Data KDRT Komnas perempuan Tahun 2009 menunjukkan jumlah kekerasan terhadap istri (96% dari seluruh jumlah KDRT). sisanya mencakup kekerasan dalam pacaran (KDP), kekerasan yang dilakukan oaleh mantan pacar, mantan suami dan kekerasab pekerjaan rumah tangga. KDRT bisa terjadi pada semua orang yang masih dalam lingkup satu rumah, dan kebanyakan korbannya perempuan dan anak-anak. Namun, banyak kasus KDRT yang tidah terungkap di muka hukum karena adanya banyak faktor, antara lain karena masyarakat tidak mengetahui bahwa kekerasan yang dialami bisa diproses di muka hukum, karena adanya ancaman oleh pihak tertentu sehingga menimbulkan rasa takut atau pun karena rasa malu jika kasusnya diketahui umum, apalagi jika yang terjadi adalah KDRT secara Psikis yang cenderung di abaikan dari pada KDRT secara fisik. Sehingga baru setelah terjadi kekerasan yang berakibat fatal baru dilaporkan. Perlu diketahui bahwa KDRT tidak hanya terjadi secara fisik saja, melainkan dapat berupa psikis, seksual atau pun ekonomi. Fakta di masyarakat menunjukkan masalah utama yang mendorong terjadinya KDRT adalah kurangnya komunikasi antar pihak dalam keluarga, terlebih jika sudah menyinggung masalah palingurgent yaitu ekonomi. Ditambah lagi jika suami atau anggota keluarga memiliki watak temperamental tinggi yang cenderung ringan tangan dalam menghadapi masalah. Di sinilah keadaan perempuan semakin tertindas, acap kali menjadi pelampiasan kemarahan suami. Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai tindak pidana KDRT pun menjadi pemicu semakin tumbuh suburnya kekerasan yang cenderung mengintimidasi perempuan dan anak-anak tersebut. Sehingga perlu adanya sosilalisasi dan relisasi  UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Diharapkan korban KDRT segera melaporkan kepada instansi yang berwajib atau kepada lembaga-lembaga masyarakat terkait kasus yang menimpa mereka.
2.      Kekerasan diranah komunitas
Mencakup kekerasan seksual, eksploitasi seksuala anak, kekerasan tempat kerja, kekerasan yang terjadi terhadap pekerja imigran adan trafficking. Tempat kejadian beragam seperti tempat kerja, di tempat penampungan (PJTKI), di dalam kendaraan, ditempat-tempat umum lainnya dan masih banyak tempat lain.
a.      Kekerasan yang berkaitan dengan negara
terjadi karena dilakukan oleh aparat negara atau yang terjadi karena kebijakan diskriminatif atau pengabaian yang dilakukan oleh negara dalam beragam bentukkya.

b.      Perempuan pekerja imigran
Mereka merupakan salah satu tulang punggung pendapatan negara dalam bentuk devisa yang dihasilkan berkontribusi sebagai penggerak ekonomi keluarga .BNP2TKI sebagai salah satu lembaga yang bertanggungjawab mengatur lalu lintas penempatam pekerja migrant dan menjamin perlindungan HAM pekerja migran, pada tahun 2009 menangani sekitar 7709 kasus. Persoalan tumpang tindih kebijakan dan wewenang antara depnakertrans dan BNP2P2TKI belum dapat terselesaikan. Persoalan yang mendasar yang belum menjadi pemerhati adalah perihal sistem pendataan. sehingga untuk mendapatkan data resmi yang komprehensif secara berkala mengenai jumlah penempatan, kasus hingga pemulangan yang sangat sulit didapatkan. TErkait perlindungan TKI UU yang mengatur Undang-Undang nomor 29/2009 tentang penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonensia (TKI). Tetapi dalam peraturan tersebut, lebih banyak mengatur mengenai penempatan TKI bukan perlindungan. Sehingga perlu direvisi.

c.       Perkawinan yang tidak dicatatkan
            Terkait Perkawinan diatur UU No 10 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sepanjang tahun 2009, Komnas Perempuan menerima pengaduan sebanyak 49 kasus yang berhubungan dengan perkawinan yang tidak dicatatkan. Padahal pencatatan perkawinan penting dilakukan oleh pengantin sebagian jaminan kepastian hukum perkawinannya sebagaimana diamanatkan pasal 2 UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan. kasus kasus tersebut menggambarkan bahwa kasus perkawinan tidak dicatatkan karena berbagai alasan, yaitu :
1.      Kebanyakan alasan menikah tanpa dicatatkan adalah “kemudahan” bagi suami untuk menikahi kembali perempuan lain, baik istri kedua, ketiga dan seterusnya.
2.      Mengatasi perkawinan antar agama
3.      Akibat dari perkawinan todak dicatatkan, amka proses perceraian tidak dapat dilakukan melalui proses peradilan. suami menceraikan istri berdalih agama, walaupun perkawinan mereka sudah dikarunia anak
4.      Perceraian terjadi karena suami tidak pulang ke rumah dan sulit dihubungi. kondisi ini menbuat status hukum istri tidak jelas baik terkait harta gono gini atau terkait hak pengurusan anak. Status hukum yang tidak jelas itu menyulitkan posisi mantan istri yang ingin menikah lagi karena tidak ada akta nikah atau cerai.

d.      Akses perempuan terhadap keadilan, layanan kesehatan dan pendidikan
            Pada bulan april 2009 Komnas Perempuan menerima surat dari OMS Samitra Abhaya kelompok Perempuan Pro-Demokrasi (SA-KPPD) yang meminta dukungan Komnas perempuan atas kasus dikeluarkan PCM seorang siswi SMKN 8 Surabaya. Korban dikeluarkan dari sekolah dan dilarang mengiktu UAN oleh pihak sekolah karena telah hamil 7 bulan. Korban dianggap telah melanggar norma pendidikan serta tata tertib sekolah. pihak sekolah menyarankan korban untyuk mengikuti kejar paket C, dimana korban menolak menerima rekomendasi tersebut[1].
            Kasus siswi hamil dalam masa sekolah bukanlah hal baru di Indonesia dan tindakan yang diambil oleh pihak sekolah hampir seragam, mengeluarkan siswi yang bersangkutan dari sekolah mereka dengan alasan melanggar tata tertib sekolah. Pelarangan siswi hamil untul tetap bersekolah dan mengikuti ujian adalah melanggar Konvensi hak anak yang telah diratifikasi dan telah diundangkan dalam UU Perlindungan anak No 23 Tahun 2002. Selain itu perlakuan diskriminatif dan pelanggaran hak anak ini sesungguhnya juga melanggar Convention on the Elimination of All from discrimination Against Women (CEDAW) yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No 7 tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Pengha[pusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

e.       Kekerasan oleh pejabat publik dan tokoh masyarakat
            Angka pelaporan kekerasan terhadap perempuan dengan pelaku pejabat publik atau tokoh masyarakat terus muncul setiap tahunnya. Komnas perempuan meyakini bahwa masih banyak korban yang diam atau menutup mulut karena penanganan korban untuk kasus seperti itu belumlah terbangun, sehingga koeban memilih untuk bungkam. Sementara di pihak pelaku dan ataun institusi di mana pelaku bekerja, termasuk juga reaksi masyarakat ditemui pola pengingkaran, pengabaian dan pembungkaman atas tuntutan korban, yang bermuara pada reviktimisasi dan jauhnya penyelesaian kasus dari keadilan.

f.       Kekerasan Media : reality show rentang konflik dalam hubungan intim
            Maraknya tayangan reality show yang menampilkan konflik hubungan intim. di satu sisi bisa dilihat sebagai asalah satu keberhasilan upaya gerakan permpuan di Indonesia dalam mengavodkasi persoalan KDRT . Keberadan UU No 23 tahun 2004 membuat masyarakat melek terhadap persoalan ini. Masyarakat mulai memandang bahwa membicarakan persoalan kekerasan dalam hubungan intim seperti kasus KDRT buaknlah tabu dan dilarang. Dalam konteks bhubunhn gender dalam acara tersebut perempuan sering menjadi pihak yang dipersalahkan. dalam posisi yang dipersalahkan, peremouan sering tidak memiliki ruas yang sama luas dengan laki laki dalam memberikan pembelaan. Dalam upaya penyelesain konflik acara reality show justru menonjolkan unsur kekerasan berbasis gender yang mengabaikan hak hak korban, termasuk dalam menyalahkan korban. Mengingat komitmen  negara Indonesia untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Maka  Komnas perempuan mendorong Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk ikut mengawasi muatan tayangan dengan menggunakan lensa keadilan gender. Media juga perlu memenuhi tanggungjawab sosialnya untuk melakukan pendidikan dan perubahan sosia; menuju tatanan masyarakat yang demokratis dan menjunjung HAM bagi semua dengan tidak menampilkan tayangan yang mengkerdilkan posisi dan peran perempuan, apalagi mempermasalahkan perempuan korban kekerasan.[2]

C.    Bantuan Hukum kepada Perempuan korban kekerasan

            Kegiatan pemberian bantuan hukum merupakan salah satu faktor penting dalam menegakkan hak asasi manusia dalam rangka menjaga dan menjamin tegaknya hak dan kewajiban untuk mewujudkan suasana tertib. Pengakuan terhadap HAM terkait dengan persamaan di muka hukum telah diatur dalam pasal 28D ayat 1 amandemen kedua UUD 1945, yang memberikan jaminan terhadap pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama, bagi setiap orang. Bantuan hukum adalah segala usaha, pekerjaan dan kegiatan yang dilakukan dengan jalan memberikan pembelaan hukum kepada Pimpinan, Satuan Organisasi, anggota masyarakat yang dilaksanakan dalam bentuk pembelaan secara langsung di muka sidang Pengadilan. Kegiatan dapat melibatkan pihak lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam prakteknya lembaga bantuan hukum tidak saja berurusan dengan soal-soal di meja hijau pengadilan, tetapi juga tidak dapat mengelakkan diri untuk menangani pula masalah masalah penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang dari badamn atau pejabat pemerintah sendiri, bahkan juga oleh yang lazim disebut sebagai oknum “alat negara”.Pemberian bantuan hukum untuk menekankan tuntutan agar sesuatu hak yang  telah diakui oleh hukum akan tetapi yang selama ini tidak pernah diimplementasikan untuk tetap di hormati. pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan, belum terpenuhi secara optimal. Bahwa perlu jaminan penyelenggaraan bantuan hukum cuma-cuma bagi orang miskin yang diatur dengan UU. Adanya program bantuan hukum juga merupakan bagian yang terpenting dari rekognisi dan perlindungan hak asasi manusia. Pemberian bantuan hukum yang dimaksud disini adalah yang khusus diberikan kepada kaum miskin dan buta huruf. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari program bantuan hukum kepada kaum miskin dan buta huruf adalah untuk terwujudnya akses keadilan (access to justice) yang merata. Salah satu bentuk dari bantuan hukum tersebut adalah adanya pembelaan atau pendampingan dari seorang advokat (access to legal counsel).  Bahwa bantuan hukum Cuma-Cuma adalah tanggung jawab Negara terhadap warga negaranya. Untuk itu, jika selama ini beban bantuan hokum hanya diberikan kepada advokat, maka sudah saatnya pola ini dirubah. Dimana advokat hanya menjadi pelaksana teknis pemberian bantuan hokum, namun penanggung jawabnya tetap berada di pemerintah dan lembaga-lembaga dibawahnya. Selama ini, advokat yang menolak pemberian bantuan hokum Cuma-Cuma bagi masyarakat yang kurang mampu, tidak mendapatkan sanksi apa-apa selain dari organisasi advokat yang bersangkutan. Tidak diperoleh sama sekali sanksi tegas terhadap penolakan pemenuhan hak dasar bantuan hukum tersebut.
            Diperlukan tenaga pendamping bantuan hukum, diluar profesi advokat yang sudah ada. Tenaga pendamping ini bisa diwujudkan dalam bentuk “Para legal”, atau mereka yang memiliki kecakapan khusus dibidang hukum dan dapat mendampingi masyarakat yang membutuhkan, dalam rangka mewujudkan keadilan bagi masyarakat kita. Kita harus mendorong keberadaan pemahaman bahwa permasalahan bantuan hokum tidak hanya dimonopoli oleh advokat semata. Pemberian bantuan hukum tersebut antara lain :

1.      Komnas Perempuan
            Adanya Komnas Perempuan adalah sebagai bentuk perwujudan institusi HAM yang dibentuk oleh negara untuk merespon isu isu hak-hak perempuan sebagai HAM. Mandat utama Komnas HAM adalah mengupayakan adanay kebijakam yang melindunhi perempuan. Komnas perempuan bukan merupakan lembaga yang menerima dan menangani langsung korban kekerasan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh organisasi pendamping korban. Ia memantau bagaimana kasus tersebut ditangani untuk memastikan lembaga penyedia layanan di pemerintah dan masyarakat memenuhi hak hak korban. Komnas Perempuan membangun mekanisme rujukan kasus dan membentuk unit rujukan untuk membantu korban yang mencari informasi secara langsung ke Komnas perempuan atau dengan melalui surat. Unit ini akan merujuk korban kepada lembaga penyedia layanan sesuai dengan kebutuhan korban. Komnas perempuan mengembangkan perangkat pendokumentasian kasus dan membentuk mekanisme pelapor khusus, yaitu seorang yang diberi mandat untuk mengembangkan mekanisme dan program komperhensif untuk menggali data dan informasi serta pendokumentasian pengalaman-pengalaman perempuan sehubungan dengan adanya kekerasan dan diskriminasi.    Sejak tahun 2006, Komnas Perempuan telah memiliki standar formulir pengisian data. Data standar yang dipantau adalah tentang kondisi lembaga-lembaga pengada layanan, hambatan yang dihadapi dalam pencatatan, juga dalam pelayanan berbagai kasus. Formulir tersebut kemudian akan dievaluasi setiap tahun, dalam evaluasi setiap tahunnya Komnas perempuan mengeluarkan catatan tentang kekerasan tersebut. Tujuannya adalah selain mendapat masukan atas format formulir juga untuk meningkatkan kerjasama dan komunikasi antar lembaga.Angka pelaporan terus muncul setiap tahun. Namun, Komnas perempuan tetap meyakini bahwa masih banyak korban yang diam atau tutup mulut, karena penanganan korban baik dari aspek hukum, sosial maupaun kebijakan institusi untuk kasus seperti ini belumlah terbangun dengan baik. Terbukti ditemuinya pola pengingkaran, pengabaiaan.
            Mandat utama Komnas Perempuan adalah mengupayakan adanya kebijakan yang melindungi perempuan korban. Bersama dengan kelompok perempuan dan kelompok masyarakat lainnya. Komnas Perempuan telah berhasil mendorong terbentuknya UU No 23 Tahun 2004 tetntang KDRT dan UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban. Komnas perempuan terus berupaya agar UU yang tersedia tersebut dapat diimplemmentasikan dan korban dapat mengakses perlindungan dan layanan sebagaimana diamanatkan dalam UU tersebut.

2.      Kelompok kelompok pemerhati perlindungan terhadap perempuan :
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
Lembaga Hak Perempuan dan Anak (LPHP-A)
Aliansi Peduli Perempuan
Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Perempuan dan Keluarga (LBHK PEKKA)
Badan Keluarga berencana dan Pemberdayaan Perempuan
Lembaga swadaya Masyarakat (LSM)
Badan Nasional Penempatan dan perlindungn Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI)
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A)
Forum Komunikasi Buruh Migran Sepakat (FOKBURAS)
Unit Pelayanan peempaun dan anak (UUPA)
Forum Peduli Anak Atambua (FPPA)
Women crisis centre (WCC)
Forum Pemerhati Masalah Perempuan Sulawesi Selatan (FPMPSS)
Pemerhari Buruh Migran Indonesia (PBMI)
Jarinan Lembaga Swadaya Masyarakat Penanggulangan Pekerja Anak Indonesia (JARAK)
Advokasi Pekerja Migran Indonesia (ABMI)
Lembaga Bantuan Hukum

Lembaga kajian untuk transformasi Sosial (LKTS)

** Sumber : data Komnas Perempuan
                       

D.    Kondisi perlindungan hukum dari pemerintah
1.      Negara mulai melakukan pembenahan penegakan hukum bagi korban kekerasan terhadap perempuan baik ditingakt perundang-undangan (seperti UU PKDRT, PP no.4/2006) dan kebijakan (MoU Apik-Kejagung, SPM KPP &PA, MoU 6 Lembaga, Perkapolri soal HAM). namun tidak berarti bahwa keadilan terhadap perempuan korban kekerasan tersebut sudah terpenuhi, karena masih terkendala peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperi KUHP, KUHAP dan UU Pengadilan HAM, akses terhadap keadialn yang diselesaikan oleh non negara dan budaya hukum aparat penegak hukum dan masyarakat yang masih bias gender.
2.      Negara belum menghapuskan dan mencegah lahirnya Perda diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi, terutama terkait isu moralitas, termasuk draft qanun jinayat di Aceh. Ada kecenderungan beberapa pemerintah daerah di dalam proses penyusunan perda-perda diskriminatif masih terkesan melakukan duplikasi dengan perda serupa di daerah lain.
3.      Negara belum membuat langkah langkah yang sistemik dalam perlindungan pekerja imigran, terlihat masih belum ada sinkronisasi diantara pembuat kebijakan dalam penanganan korban pekerja imigran, penyelesaian masih kasuistis dan masih belum mengakomodasika data kuantitatif dari tingginya kasus kasus pelanggaran hak asasi pekerka imigran terutama perempuan.
4.      Negara belum optimal mengupayakan pemuliahn hak korban pekerja migran yang bermasalah khususnya pekerja migran yang mengalami kekerasan seksual seperti pemerkosaan, penghamilan dan kekerasan psikis, cacat permanen, karena upaya pemulihan saat ini yang cenderung menangani persoalam  per pekerjaan.
5.      Negara masih belum berkomitmen atas pelaksanaan amanat tindakan khusus sementara (affirmative action) bagi partisipasi perempuan dalam politik dan kelembagaan yang menangani perlindungan perempuan dan hak asasi peremouan terlihat masih rentannya isu penghapusan dan peleburan kelembagaan, belum optimalnya kebijakan dan anggaran yang memberin perlindungan terhadap perempuan dan pemajuan hak asasi perempuan
6.      Negara belum memberikan jaminan hukum bagi pembela HAM khususnya perempuan, sehingga masih terjadi kerentanannya atas kekerasan fisik, psikis, dan status hukumnya[3]

GIZI, PEREMPUAN, DAN MASA DEPAN BANGSA


GIZI, PEREMPUAN, DAN MASA DEPAN BANGSA

Secara global diakui bahwa status kesehatan merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan program pembangunan dan kesejahteraan nasional suatu masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari  status gizi masyarakat. Status gizi masyarakat sangat menentukan kualitas sumberdaya manusia, prestasi akademik dan daya saing bangsa. Kasus gizi buruk, angka kematian ibu dan bayi, dan angka kurang gizi pada ibu dan anak diyakini akan menurunkan kualitas sumberdaya dan daya saing bangsa, sehingga dapat menghambat laju pembangunan bangsa dan negara. Untuk itu, pemerintah sebagai pembuat kebijakan telah melakukan banyak cara untuk membangun masyarakat yang sehat, baik laki-laki dan perempuan, dewasa dan anak-anak. Bersama-sama dengan pemerintah daerah, lembaga donor, dan swasta telah dilakukan program pemberian dana, bantuan teknis, fasilitas, dan advokasi dalam hal kesehatan, pangan dan gizi pada masyarakat Indonesia.
Akan tetapi, data yang ada selama ini menunjukkan hasil yang kurang menggembirakan.  Misalnya untuk fenomena gizi buruk, data dari Unicef menyatakan bahwa pada tahun 2011 Balita yang menderita gizi buruk di Indonesia sebesar 40%. Kasus gizi buruk ditemukan tidak hanya di perdesaan, tapi juga perkotaan. Di Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur permasalahan ini selalu muncul seakan menjadi persoalan yang tidak teratasi.
Sedangkan angka kematian ibu melahirkan (AKI) Indonesia masih tertinggi di ASEAN, yaitu sebesar 228/100.000 kelahiran hidup. Sebesar 55% kematian ibu disebabkan oleh pendarahan dan pre-eclampsia yang terkait erat dengan kondisi gizi buruk semasa hamil. Sementara itu, angka kematian bayi (AKB) adalah 34 per 1.000 kelahiran hidup. Padahal, target yang ingin dicapai secara global melalui Millenium Development Goals/Tujuan Pembangunan Milinium – dimana Indonesia ikut berpartisipasi didalamnya – pada tahun 2015 adalah menurunkan AKI menjadi 102/100.000 kelahiran hidup, dan menurunkan AKB menjadi 23/1.000 kelahiran hidup (Kompas, 24 Februari 2011).
Jika kita menilik pada upaya yang telah dilakukan untuk menyehatkan masyarakat yang hasilnya kontras dengan realitas yang ada, tentu muncul pertanyaan mengapa kasus gizi buruk pada Balita dan pada ibu hamil, dan angka kematian ibu melahirkan serta bayi masih tetap tinggi? Untuk melihat permasalahan ini, perlu disadari bahwa permasalahan kesehatan, pangan dan gizi adalah persoalan multifaktor. Persoalan ini bukanlah hal yang berdiri sendiri, muncul tiba-tiba dan sesekali. Tanpa melihat akar masalahnya tujuan yang ingin dicapai oleh program kesehatan dan MDGs merupakan hal yang sangat ambisius.
Tulisan ini bertujuan untuk mengulas pentingnya upaya peningkatan status kesehatan dan status gizi pada masyarakat, khususnya pada perempuan dan anak dengan menggunakan perspektif gender. Diyakini oleh banyak pihak bahwa salah satu kunci pemecahan permasalahan tersebut adalah pemenuhan gizi bagi ibu hamil dan Balita untuk menekan tingginya AKI dan AKB sekaligus menekan fenomena gizi buruk serta melahirkan generasi yang sehat dan cerdas. Namun upaya tersebut merupakan suatu proses yang kompleks, yang bukan hanya ditentukan oleh faktor teknis kesehatan, tetapi juga faktor ekonomi, politik, dan sosial budaya – bagaimana nilai-nilai sosial budaya menempatkan perempuan dalam keluarga, masyarakat dan negara.
Pentingnya Gizi Bagi Ibu Hamil dan Balita
Pemenuhan gizi bagi perempuan memegang peran yang signifikan dalam menurunkan AKI, AKB dan menentukan kualitas anak yang akan dilahirkannya. Fakta mengatakan bahwa permasalahan gizi merupakan masalah intergenerasi, karena ibu hamil yang kurang gizi akan melahirkan bayi kurang gizi. Secara medis, diketahui bahwa ibu hamil yang kurang gizi berisiko melahirkan bayi berat lahir rendah yang berisiko memiliki IQ rendah dan tumbuh kembang dengan tidak optimal. Jalal (dalam Bappenas, 2011) menyebutkan bahwa sejumlah penelitian menunjukkan peran penting zat gizi tidak hanya pada pertumbuhan fisik saja, tapi juga pertumbuhan otak, perkembangan perilaku, motorik, dan kecerdasan.
Martorell (ibid) juga menyatakan bahwa kekurangan gizi pada masa kehamilan dan anak usia dini menyebabkan keterlambatan dalam pertumbuhan fisik, perkembangan motorik, dan gangguan perkembangan kognitif. Gizi buruk pada saat sebelum kehamilan dan masa kehamilan mempengaruhi tumbuh kembang janin dan berakibat buruk pada kesehatan janin/anak di masa depan, termasuk dampak yang harus ditanggung oleh keluarga, masyarakat dan negara. Sebagai contohnya adalah kekurangan gizi pada Balita dan ibu hamil akan berakibat pada biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh keluarga dan pemerintah, karena banyaknya warga yang mudah terserang penyakit sebagai akibat kurang gizi. Dampak lainnya adalah menurunnya kualitas sumberdaya manusia dan produktifitas kerja. Karena itu investasi gizi pada perempuan dan anak merupakan hal penting yang harus dilakukan.
 Feminisasi Isu Gizi
Tak dapat disangkal bahwa permasalahan kesehatan, pangan dan gizi sangat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya, ekonomi dan politik. Nilai-nilai sosial budaya merupakan acuan perilaku kesehatan masyarakat. Terkait dengan pemenuhan pangan dan gizi, dalam setiap masyarakat makanan adalah elemen penting bagi kehidupan manusia. Budaya membentuk pola pemahaman masyarakat tentang apa definisi makanan; oleh siapa makanan itu boleh dimakan; kapan boleh dimakan; dan bagaimana makanan itu dimakan. Pola makan mempunyai implikasi sosial dan pada kondisi kesehatan individu dan masyarakat.  Pola ini terinternalisasi sejak kanak-kanak dan menjadi kebiasaan setelah dewasa.
Umumnya nilai-nilai sosial budaya patriarki menempatkan peran ibu dan perempuan dalam hal pengelolaan makanan dan pemenuhan gizi keluarga di tingkat rumah tangga dan masyarakat – sebagai bagian dari peran domestik perempuan. Contohnya, sampai saat ini masih dijumpai pola makanan dalam keluarga menurut kedudukan seseorang dalam keluarga, dimana makanan untuk Bapak dan laki-laki dewasa lebih diutamakan dengan porsi lebih banyak dan jenis lauk bervariasi dibanding untuk ibu dan anak-anak. Sosialisasi dan praktik tabu makanan pun masih dijumpai di masyarakat, misalnya larangan makanan tertentu bagi perempuan, ibu hamil, dan Balita, padahal makanan tersebut sangat bermanfaat bagi kesehatan.
Kemudian faktor kemiskinan adalah muara lain dari persoalan gizi buruk. Pengertian kemiskinan bermakna banyak dan multidisiplin, namun esensi dari definisi kemiskinan adalah tiadanya akses pada hal-hal vital dalam hidup. Orang kurang/tidak punya akses pada sumberdaya dasar yang menopang kehidupan seperti air bersih, rumah layak huni, alat kerja, makanan bergizi, pendidikan, fasilitas dan layanan kesehatan, lingkungan sehat dan lapangan kerja. Bank Dunia mencatat bahwa 50 persen rumah tangga di Indonesia tergolong rentan miskin akibat krisis ekonomi (Kompas, 23 Desember 2012).
Dalam kondisi miskin yang menjadi masalah dalam pemenuhan pangan dan gizi adalah ketersediaan bahan makanan. Karena dikondisikan oleh nilai sosial budaya sebagai pengelola makanan dalam keluarga, perempuan akan ikut memikirkan bagaimana anaknya bisa makan dan cenderung mengabaikan kebutuhan gizinya sendiri. Gizi buruk pada Balita dan anak-anak banyak terjadi sejak mereka dilahirkan. Kemiskinan dan ketidakmampuan keluarga menyediakan makanan bergizi bagi perempuan hamil dan anak-anak menjadi penyebab utama meningkatnya korban gizi buruk di Indonesia.
Gizi buruk tidak hanya ditemukan pada keluarga miskin, tapi juga pada keluarga yang mampu secara ekonomi. Bagi golongan mampu yang menjadi faktor adalah pola makan, kesadaran gizi dan tanggung jawab orangtua. Sebagian besar dari kita termasuk juga kebijakan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam bidang kesehatan, cenderung menunjuk pada peran ibu terkait dengan pemenuhan gizi pada keluarga. Padahal, pemenuhan gizi pada anak adalah tanggung jawab orangtua, baik ibu maupun bapak, masyarakat dan negara.
Faktor kultural yang diwarnai nuansa patriarki juga ikut menyumbang perilaku kesehatan dalam relasi gender di dalam keluarga dan masyarakat, khususnya status kesehatan reproduksi dan seksual perempuan. Misalnya, lemahnya posisi tawar perempuan dapat mengancam kesehatan perempuan dan anak yang dilahirkannya. Konsep istri harus patuh pada suami menyebabkan perempuan tidak mampu menolak untuk berhubungan seks dengan suami yang mengidap penyakit menular seksual, seperti HIV/AIDS. Karena meminta pasangan menggunakan kondom dan menanyakan kondisi kesehatan seksual suami biasanya dianggap hal yang tabu dan mempertanyakan kesetiaan suami. Padahal data Kementrian Kesehatan menyatakan bahwa 34 persen HIV/AIDS terjadi pada perempuan dan kasus tertinggi (288 kasus) pada ibu rumah tangga (Kompas, 22 Desember, 2011).
Selain itu, faktor budaya mengenai pernikahan dini juga berpengaruh pada status kesehatan perempuan dan anak. Tanpa perencanaan yang matang, perempuan bisa terus-menerus hamil dan melahirkan. Selain melelahkan, perempuan dan anak yang dilahirkan akan berpeluang kekurangan gizi. Dalam kondisi ini, karena tanggung jawab domestik yang besar pada perawatan dan pengasuhan anak-anak yang berjumlah banyak, perempuan tidak bisa mengembangkan potensi dirinya secara optimal. Ketidaktahuan ibu mengenai resiko kehamilan dan bahaya melahirkan juga bisa memicu kematian ibu dan anak.
 Strategi Kebijakan dan Praktis: Pemberdayaan Keluarga dan Komunitas
Terkait dengan kompleksitas permasalahan gizi, maka kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan program praktis yang diaplikasikan di tingkat masyarakat perlu memasukkan faktor sosial budaya, kemiskinan, pendidikan, persepsi masyarakat mengenai hak asasi manusia termasuk gender, persepsi mengenai kesehatan reproduksi termasuk tabu makanan dan praktik kesehatan tradisional yang bertentangan dengan kesehatan modern.
Program gizi jangan hanya diarahkan pada kebutuhan anak tapi juga bagi ibu. Persoalan gizi buruk pada anak memang penting, namun ibu hamil yang mengalami kekurangan gizi, akan mengakibatkan angka kematian ibu dan anak yang tinggi.
Implementasi kebijakan dalam hal kesehatan dan gizi jangan hanya menekankan pada peran ibu/perempuan. Program pemberdayaan perempuan untuk sadar kesehatan dan gizi memang perlu, tapi tanpa dukungan suami dan masyarakat tujuan program tersebut akan sulit dicapai. Akan lebih baik jika program diarahkan pada pemberdayaan orangtua (ibu bapak) dan komunitas. Di tingkat keluarga, perlu ada informasi dan pelatihan bahwa pemenuhan gizi keluarga menjadi tanggung jawab suami istri dan kedua orangtua, bukan hanya tanggung jawab ibu/perempuan.
Pada level komunitas, misalnya, isu gizi terkait erat dengan persoalan ketahanan pangan dan ekonomi. Untuk itu diperlukan pemikiran yang kreatif dalam menciptakan program yang lebih realistis, menggugah kepedulian masyarakat dan swasta, dan efeknya berjangka panjang. Keterlibatan masyarakat dan swasta adalah penting dalam konteks kekinian yang menekankan pada partisipasi sebagai bagian dari penerapan prinsip demokrasi. Karena itu masalah pemenuhan gizi, kasus gizi buruk, AKI dan AKB tidak harus dipikirkan oleh pemerintah saja, tapi juga oleh masyarakat, perempuan dan laki-laki dan swasta. Contoh yang dapat diberikan adalah kampanye lumbung pangan, pemanfaatan pekarangan, kolam dan sungai untuk perikanan, dan diversifikasi pangan baik di perkotaan maupun perdesaan. Kepedulian individu, masyarakat dan pemerintah dalam upaya pemenuhan gizi masyarakat akan berdampak signifikan pada penurunan AKI, AKB dan kasus gizi buruk. Upaya ini secara tidak langsung akan mencerdaskan generasi yang akan datang (as/03/12).

Narkoba Pembunuh Masa Depan


Narkoba Pembunuh Masa Depan

Seiring berkembangnya era globalisasi, narkoba (narkotika dan obat-obat terlarang) semakin hari semakin marak berkembang di kalangan masyarakat,  baik sebagai pengedar, maupun sebagai pemakai. Apalagi pada hari narkoba yang diperingati oleh dunia sebagai hari yang mengingatkan kepada kita semua akan adanya bahaya yang berimbas kedalam aspek kehidupan. Perlu kiranya kita berdiam sejenak dari aktifitas-aktifitas yang kita lakukan dan memberikan sedikit waktu luang untuk memikirkan bahwa narkoba telah menjadi virus yang sama mengganggunya dengan virus mematikan lainya.
Penyalahgunaan narkoba yang tidak sesuai dengan ketentuan merupakan faktor utama penyebab yang menjadi masalah sangat memprihatinkan dan terus meningkat. Nyaris seluruh elemen masyarakat sampai generasi muda, mulai dari siswa sekolah dasar hingga perguruan tinggi tergiur memakai narkoba. Padahal mereka adalah generasi penerus bangsa yang nantinya akan berjuang dan menjadi pemegang amanah negeri tercinta ini. Bagaimana jadinya negara ini dimasa yang akan datang dimana persaingan yang begitu ketat dan tantangan yang semakin berat sehingga para kaum generasi penerus bangsa saat ini tidak perduli lagi terhadap dirinya sendiri atau dengan kata lain merusak dirinya sendiri dengan menggunakan narkoba.
Ironisnya dari faktor tersebut yang sangat memprihatinkan lagi tidak sedikit dari kaum perempuan yang terjerumus kedalam narkoba baik sebagai pengedar dan juga sebagai pelaku. Pertanyaannya bila kaum hawa yang mempunyai perasaan kasih sayang juga masuk dalam lingkaran lembah hitam narkoba, siapa lagi yang harus mencegah dan memberikan pendidikan terhadap anak-anak. Karena kita tahu perempuan sangat dekat dengan anak-anak, dan merupakan kunci utama dalam pendidikan keluarga.
Kita harus mengakui hingga kini penyebaran narkoba masih sukar dicegah, mengingat begitu mudahnya mendapatkan narkoba dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Seperti yang kita ketahui, banyak masuknya narkoba melaui bandar udara, pelabuhan-pelabuhan, bahkan melalui transportasi darat. Sudah barang pasti hal ini bisa membuat para orang tua, pemerintah, dan juga masyarakat khawatir akan penyebaran narkoba yang begitu merajalela mengancam keluarga.
Pecandu juga Saudara Kita
Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN) merilis satu tahun terakhir tercatat 48.300 orang Aceh termasuk dalam kelompok pemakai narkoba. BNN juga menempatkan Aceh diurutan ke empat dari 33 provinsi seluruh Indonesia dalam hal peredaran narkoba secara nasional. Kepala Bidang Pencegahan BNNP Aceh Ir. Basri Ali juga mengatakan dari jumlah pemakai dan peredarannya, sudah memasuki situasi yang membahayakan (Serambi Indonesia, Sabtu/16 Juni 2012).
Tentu hal ini akan menambahkan ketakutan para orang tua khususnya dan masyarakat umumnya, ini menunjukkan bahwa pengaruh narkoba semakin hari semakin meningkat dan sangat membutuhkan bantuan dan kerja keras dari semua pihak, masalah narkoba tidak bisa diselesaikan oleh satu pihak saja. Karena narkoba bukan hanya masalah individu namun masalah semua orang. Mencari solusi yang tepat merupakan sebuah pekerjaan besar yang melibatkan semua pihak, baik pemerintah, organisasi masyarakat, LSM dan komunitas lainnya, dimana bisa memberikan alternatif aktivitas, dan juga lembaga-lembaga pendidikan dalam rangka melindungi anak dari bahaya narkoba dengan menjelaskan kepada anaka- anak tentang bahaya narkoba.
Mencegah lebih baik daripada mengobati, pepatah ini masih berlaku bagi semua orang, dan khususnya bagi generasi muda yang belum terjamah narkoba. Pencegahan terhadap keterlibatan narkoba sangat efektif dilakukan malalui pendidikan Agama. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah diamandemen pasal 29 ayat (1) dan (2) dan Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia, maka pendidikan agama merupakan segi pendidikan yang utama yang mendasari semua segi pendidikan lainnya.
Pendidikan Agama juga mampu menangkal hal-hal yang bersifat negatif dari lingkungannya atau dari budaya asing yang dapat membahayakan dan menghambat perkembangan diri kita menuju manusia seutuhnya.
Dalam hal ini usaha-usaha promotif dilaksanakan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan, pembinaan dan pengembangan lingkungan masyarakat bebas narkoba, pengembangan pola hidup sehat, kegiatan positif, produktif, konstruktif dan kreatif. Upaya-upaya yang berbasiskan masyarakat mendorong dan menggugah kesadaran, kepedulian dan peran serta aktif seluruh komponen masyarakat say no to drug (katakan tidak pada narkoba) sangat dibutuhkan, sehingga tidak terjadinya penyalahgunaan dan peredaran gelap,
Pemerintah juga harus lebih jeli dalam memahami permasalahan dari pada meningkatnya kasus-kasus narkoba yang membumi saat ini agar kemudian dapat merancang perumusan strategi-strategi yang tepat pula, tidak hanya sekedar berkegiatan sebatas seremonial dan menghabiskan anggaran semata. Hukum ditegakkan sebagaimana mestinya dan keterlibatan masyarakat untuk mobilisir secara aktif merupakan keharusan.
Maka dari itu, perlu suatu usaha untuk menyelamatkan generasi muda bangsa dari cengkraman narkoba. Peran pemerintah  sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Narkotika No.35 Tahun 2009 pasal 64 (1) Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN. (2) BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah non kementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Serta Pasal 104 masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Pasal 105 Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Narkoba bukan lagi masalah yang lazim, oleh karena itu harus ada komitmen dan kerja nyata dari semua pihak untuk menyelamatkan kehidupan bangsa kita, menyelamatkan kehidupan generasi muda kita dengan secara khusus melakukan pencegahan dan pemberantasan kejahatan narkoba. Harapan demi harapan untuk menelurkan generasi yang cerdas dan tangguh di masa yang akan datang dapat terealisasikan dengan baik, serta optimalisasi peran pemerintah dalam mewujudkan generasi muda yang bebas dari Narkoba menuju arah lebih baik. Semoga.

Penulis adalah guru SMA Negeri 1 Jeunieb, juga Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara

Reformasi Birokrasi dan Implementasi Good Governance


Reformasi Birokrasi dan Implementasi Good Governance



0leh. Dr. Muhadam Labolo[1]


Pendahuluan

            Reformasi birokrasi merupakan upaya penataan mendasar yang diharapkan dapat berdampak pada perubahan sistem dan struktur.   Sistem berkaitan dengan hubungan antar unsur atau elemen yang saling mempengaruhi dan berkaitan membentuk suatu totalitas.  Perubahan pada satu elemen kiranya dapat mempengaruhi unsur lain dalam sistem itu sendiri.  Struktur berhubungan dengan tatanan yang tersusun secara teratur dan sistematis.  Perubahan struktur mencakup mekanisme dan prosedur, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, organisasi dan lingkungannya dalam kerangka pencapaian tujuan efisiensi penyelenggaraan birokrasi pemerintahan. Perubahan tersebut meliputi keseluruhan aspek yang memungkinkan birokrasi memiliki kemampuan yang memadai dalam melaksanakan tugas dan fungsi pokoknya.  Kegagalan birokrasi dalam melayani masyarakat selama ini sekaligus menggambarkan buruknya penyelenggaraan pemerintahan baik di level pemerintah pusat maupun daerah.
Urgensi reformasi birokrasi di Indonesia setidaknya di dorong oleh sejumlah catatan penting, pertama,meningkatnya belanja aparatur disebabkan oleh bertambahnya rekrutmen pegawai tanpa pengendalian yang jelas, disamping membesarnya struktur birokrasi pemerintahan. Peningkatan belanja aparatur dapat dilihat dari hasil evaluasi FITRA (2011), dimana 124 pemerintah daerah cenderung memperlihatkan gejala kebangkrutan.  Kabupaten Lumajang menjadi contoh nyata dimana belanja aparatur membengkak hingga mencapai 83% dari total APBD.  Ini berarti, lebih kurang 2% pegawai kemungkinan menikmati belanja aparatur, sisanya sebesar 17% diperebutkan oleh 98% masyarakat dalam bentuk alokasi belanja modal/pembangunan. Bertambahnya pegawai hasil rekrutmen tanpa kompetensi yang jelas serta kebiasaan mengembangkan struktur organisasi membuat pemerintah pusat maupun daerah mengalami defisit anggaran layaknya gali-lubang, tutup-lubang.  Kedua, membengkaknya ongkos demokrasi (pemilukada) mengakibatkan beban kas pemerintah daerah khususnya mengalami peningkatan signifikan. Ironisnya, perhelatan tersebut tak jelas melahirkan kepemimpinan pemerintahan yang handal. Besarnya anggaran pemilukada, serta dampak yang ditimbulkan terhadap birokrasi mengakibatkan pemerintah kelimpungan dalam menutup defisit anggaran.  Lebih dari itu birokrasi mengalami dilemma loyalitas akibat terpecahnya konsentrasi pada setiap pesta pemilukada. Ketiga, tingginya gairah penggemukan organisasi birokrasi pemerintahan tanpa perencanaan dan analisis yang jelas memicu pembiayaan dan rekrutmen pegawai dalam jumlah tak sedikit. Akibatnya, birokrasi di daerah mengalami overload, atau bahkan kekurangan, khususnya daerah di luar pulau Jawa. Disisi lain rendahnya pendapatan asli daerah menciptakan ketergantungan pada pemerintah pusat, sementara belanja pemerintah daerah jauh dari efisiensi, bahkan tak terkontrol akibat tingginya beban organisasi.  Keempat, meluasnya perilaku koruptif mendorong birokrasi kehilangan kepercayaan sebagai pelayan masyarakat. Kelima, lemahnya pengawasan mengakibatkan pemerintah cenderung bertindak konsumtif, boros, sewenang-wenang dan tak transparan.  Keseluruhan catatan negatif tersebut di dukung pula oleh perilaku buruk birokrasi dalam pelayanan masyarakat seperti sikap yang lamban dan reaktif, arogan, nepotisme, berbelit-belit, boros, bekerja secara naluriah (insting), enggan berubah, serta kurang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Masalahnya, bagaimanakah sebaiknya reformasi birokrasi dilakukan, apakah tantangan yang dihadapi, serta bagaimanakah desain reformasi birokrasi yang mesti dilakukan dalam meminimalisasi meluasnya masalah yang dihadapi? Tulisan singkat ini akan mendeskripsikan tentang makna birokrasi dan good governance, karakteristik pemerintahan yang baik, masalah dan tantangan yang dihadapi dalam upaya reformasi birokrasi, serta upaya strategis reformasi birokrasi dan implementasi tata kelola pemerintahan yang baik. Perubahan tersebut diharapkan tidak saja bersifat incremental semata, namun fundamental.  Hal itu disadari bahwa upaya reformasi birokrasi merupakan bagian dari grand desain penciptaan tata pemerintahan yang baik (good governance).  Konsep ini diharapkan mampu menjembatani suatu kondisi pemerintahan yang buruk (bad government) kearah terbentuknya pemerintah yang baik (good government).  Tentu saja birokrasi pemerintahan sebagai instrument pelaksana menjadi fokus utama yang mesti diperbaiki melalui kebijakan reformasi birokrasi. Cakupan tulisan ini juga akan menyentuh reformasi birokrasi pemerintahan baik pusat maupun daerah, sekalipun pada akhirnya lebih menampilkan potret masalah birokrasi di level pemerintah daerah. Bagaimanapun juga, kita semua paham bahwa reformasi birokrasi di level pemerintah daerah merupakan bagian dari kebijakan reformasi birokrasi secara nasional.


Birokrasi dan Good Governance

            Konsep birokrasi sendiri lazim merujuk pada gagasan Maximilliam Weber (1864-1920).  Sekalipun demikian, Albrow[2] banyak mengembangkan konsep birokrasi dari berbagai sudut pandang. Secara etimologis, birokrasi berasal dari kata bureaucracy (Inggris), atau burocratie (Jerman), burocrazia (Italia) dan bureaucatie (Perancis), yang berarti meja atau kantor. Istilah ini dimunculkan kembali oleh filosof Perancis, Baron de Grimm atas catatan Vincent de Gournay[3]Cracy (kratos) sendiri menunjukkan arti kekuasaan atau aturan. Dalam padanan lain seringkali dihubungkan dengan istilah pemerintahan (proses), sebab pemerintahlah yang paling mungkin memiliki kekuasaan membuat aturan, atau bahkan proses dan sumber dari semua aturan dalam hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah.  Statement ini setidaknya sejalan dengan pikiran Gornay dan Laski (1930), yang kemudian mendefenisikan birokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana kontrol sepenuhnya berada di tangan para pejabat yang sampai pada batas tertentu dapat menunda atau mengurangi kemerdekaan warga negara biasa[4]. Dua contoh lain hasil asimilasi yang sebangun dengan kata itu misalnya konsep demokrasi dan oligarkhi. Apabila sumber kekuasaan berasal dari rakyat banyak lazim disebut demokrasi. Demikian pula apabila sumber kekuasaan tersebut dikendalikan oleh sekelompok rakyat pintar (profesional) dikenal dengan istilah oligarkhi.  Bahkan, lewat kalimat provokatif Michel (1962)[5] menyatakan bahwa siapa yang bicara tentang organisasi, pastilah bicara tentang oligarkhi. Pada tingkat pragmatis, pelayanan urusan yang lebih rinci pastilah berhubungan dengan apa yang lazim kita sebut dengan birokrasi.
Makna bureau (baca:biro) identik dengan kenyataan dalam birokrasi, dimana struktur di bentuk lebih banyak menyelesaikan pekerjaan di atas meja. Pejabatnya biasa duduk di belakang meja.  Semua masalah relatif diselesaikan di atas meja. Logikanya, jika urusan diselesaikan di bawah meja mungkin saja bertentangan dengan makna etimologisnya. Ini bisa dimaklumi, sebab secara historis, birokrasi traditional di Perancis (abad 18) menampilkan wajah demikian, boros, eksploitatif, represif, oportunis, kolutif, koruptif dan nepotism. Sinisme atas gejala tersebut melahirkan istilah bureaumania. Secara fungsional, realitas pelayanan justru menjadi lebih efisien dan efektif jika tanpa melalui meja birokrasi yang terkadang berbelit-belit dan menguras energi.  Mungkin inilah yang di sebut Rahardjo (2010)[6] sebagai pendekatan hukum progresif dalam pelayanan birokrasi menurut perspektif hukum. Secara faktual, kita banyak menemukan istilah biro pada struktur organisasi. Di Indonesia, di level organisasi provinsi dan pusat misalnya, terdapat jabatan biro yang dipimpin oleh seorang kepala biro setingkat eselon dua. Sebagai contoh, biro hukum, biro organisasi, biro pemerintahan, biro umum dan sebagainya. Ia membawahi sejumlah bagian dan subbagian pada level paling rendah. Bahkan, untuk membedakan secara teknis, seorang pejabat memiliki meja dengan ukuranbiro atau setengah biro.  Sejauh ini, tak ada istilah lain untuk ukuran meja selain biro, misalnya meja ukuran bagianatau setengah bagian.
Pengertian kedua (kantor), merujuk pada hampir semua bentuk organisasi baik sipil maupun militer.  Kita sering menyebut kantor pada hampir semua organisasi yang secara fisual terlihat melalui bangunan megah, lengkap dengan sistem dan peralatannya. Demikian pula kantor pada organisasi swasta. Dalam konteks Indonesia, struktur organisasi pemerintah daerah misalnya menggunakan istilah kantor untuk membedakan unit tersebut dengan dinas dan badan. Kantor menjadi unit paling kecil ukurannya sebelum menanjak menjadi Badan atau Dinas. Di level provinsi, kantor menjadi instrument pemerintah pusat di daerah, seperti kantor wilayah (kanwil) dan kantor departemen (kandep).  Pada pemerintahan yang bersifat sentralistik, instrument pemerintah pusat dapat menjangkau hingga ke level pemerintahan paling rendah (dekonsentratif). Sebaliknya, pemerintahan yang bernuansa demokratik biasanya meletakkan kontrol pada level pemerintahan tertentu yang untuk selanjutnya melakukan pengawasan secara berjenjang (desentralistik).
Dalam perspektif Weber, birokrasi adalah organisasi rasional dengan segenap karakteristik yang melekat didalamnya. Karakteristik dimaksud antara lain adanya suatu jabatan, tugas, wewenang, hierarkhi, sistem, formalitas, disiplin, profesional, kecakapan dan senioritas. Karakteristik tersebut membentuk birokrasi sebagai alat untuk mencapai tujuan kolektif. Birokrasi, dalam makna konkrit adalah organisasi yang memiliki rantai komando berbentuk piramidal, dimana lebih banyak orang berada di tingkat bawah daripada tingkat atas, baik pada instansi militer maupun sipil. Semakin ke puncak semakin langka pemegang kekuasaan, sebab ia mengokohkan kepemimpinan dengan wewenang yang lebih luas. Sebaliknya, semakin ke bawah semakin banyak pegawai, tetapi ia semakin menunjukkan wewenang yang lebih terbatas. Kekuasaan tersebut pada akhirnya habis terbagi dalam bentuk spesialisasi dan struktur yang lebih kecil. Demikianlah kekuasaan mengalir menurut hukum alam (natural of law). Ia dimulai dari suatu kekuasaan yang maha besar, lalu mengalir kedalam struktur yang dibagi secara khusus.  Dalam pendekatan ilmu alam, kekuasaan tersebut mengalir sebagaimana siklus air hujan.  Dimulai dari gumpalan awan yang di pandang sebagai pemberian Tuhan (teosentris).  Dari aspek ilmu pengetahuan (antroposentris), air hujan merupakan hasil serapan dari laut berupa uap akibat tekanan panas matahari yang dibawa angin membentuk gumpalan awan hitam. Tidak semua menguap, sebagian besar tersisa menjadi lautan luas. Pada suatu ketika, gumpalan awan hitam tersebut pecah menjadi butiran hujan yang jatuh dan mengumpul di suatu tempat, apakah terserap oleh  akar pohon atau terkumpul pada wadah perbukitan yang mengalir melalui sungai-sungai besar dan kecil menuju laut. Siklus air hujan secara sederhana dapat kita persamakan dengan siklus kekuasaan.  Kekuasaan lahir dari rakyat kebanyakan (demokrasi), sekalipun dalam teori kedaulatan dapat bersumber dari Tuhan (teokrasi) dan atau sedikit orang (aristokrasi).  Tekanan konflik dan sejumlah motivasi tertentu mendorong terbentuknya representasi pemegang kekuasaan.  Para pemegang kekuasaan (pemerintah) baik diyakini merupakan representasi dari kedaulatan Tuhan (teokrasi) atau hasil pilihan masyarakat (demokrasi) secara konkrit membentuk organisasi pemerintahan yang untuk selanjutnya mengalirkannya dalam bentuk struktur-struktur formal birokrasi dari tingkat pusat hingga level pemerintahan paling rendah.  Birokrasi pada akhirnya dapat dipandang sebagai cerminan dari pelembagaan kekuasaan yang mengalir deras dari tingkat atas hingga bawah.  Dari aspek ini birokrasi secara praktis merupakan instrument/alat dari kekuasaan untuk mencapai tujuan pemimpin maupun tujuan bersama yang diemban oleh pemimpin dimaksud. Pada contoh yang lebih nyata, seorang presiden hasil pilihan rakyat memiliki kekuasaan luas.  Kekuasaan tersebut dialirkan secara hirarkhis melalui Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Lurah hingga Kepala Desa. Pada level gubernur, kekuasaan dibagi berdasarkan jumlah wewenang yang diterima, lalu dilembagakan dalam struktur formal seperti biro pemerintahan, bagian pemerintahan dan seterusnya. Demikian pula aliran kekuasaan pada level kabupaten/walikota hingga pemerintah desa. Kekuasaan dalam konteks ini mengalami formalisasi yang dirinci dan dipertanggungjawabkan secara jelas.  Inilah yang disebut dengan wewenang (authority).  Dalam kaitan itu, birokrasi hadir dan merujuk pada bagaimana cara pemerintah melaksanakan dan membuat peraturan-peraturan yang sah secara sosial.  Keabsahan tersebut diharapkan mampu merefleksikan suatu pemerintahan yang baik dengan berbagai ciri yang terkandung didalamnya. 
Seperti digambarkan oleh Mark Robinson (2000:417), fenomena pemerintahan dewasa ini telah meluas tidak saja pada dunia pemerintah semata, tetapi juga pada ruang non pemerintah seperti perusahaan.  Upaya-upaya dalam rangka penerapan kekuasaan melalui serangkaian mekanisme untuk menjamin akuntabilitas, legitimasi dan tranparansi pada berbagai sektor diluar pemerintah menunjukkan gejala pemerintahan yang semakin menguat.  Setidaknya hal ini terlihat dalam pembentukan serangkaian aturan atau struktur otoritas dalam komunitas tertentu yang memainkan peran atau fungsi pengelolaan sumber daya termasuk dalam menjaga tatanan sosial.  Meluasnya upaya untuk menata pemerintahan kearah yang lebih baik mendorong donor international untuk mengembangkan konsep good governance (pemerintahan yang baik).  Pengembangan konsep ini didorong oleh gejala meningkatnya hambatan-hambatan administrasi dan politik dalam pembangunan dunia ketiga.  Gejala tersebut antara lain meningkatnya korupsi, kolusi, nepotisme, individualisme serta hilangnya legitimasi politik khususnya pada negara-negara yang kurang mampu dan tanpa sistem demokrasi yang memadai.  Berlawanan dari konsep ideal yang ingin dikembangkan, bad government (pemerintah yang buruk) menjadi alasan bagi lembaga international untuk mengembangkan pola yang lebih mungkin dalam kaitan dengan manajemen ekonomi dan politik global. 
Dalam perspektif negara-negara maju, dua alasan utama yang mendorong lahirnya gagasan penciptaan pemerintahan yang baik adalah pertama, gagalnya pemerintah menjalankan fungsinya yang ditandai oleh tidak bekerjanya hukum dan tata aturan sehingga menimbulkan ketidakpercayaan pada pemerintah tentang bagaimana seharusnya pemerintah berinteraksi dengan masyarakatnya.  Ini tentu saja berkaitan dengan tanggungjawab pemerintah pada masyarakatnya, demikian pula kewajiban dan hak yang saling mengikat antara mereka yang memerintah dan mereka yang diperintah.  Kedua, tekanan dari kelompok neo-liberal yang mendukung dikuranginya peran negara dan pengimbangan kekuasaan kepada penyediaan layanan oleh pembeli dan pengatur.  Atau dengan kata lain, pemangkasan peran pemerintah sejauh mungkin dengan cara penyerahan kepentingan antara penjual dan pembeli pada mekanisme pasar. 
Sekalipun upaya-upaya untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik dilakukan misalnya melalui desentralisasi kekuasaan, reformasi pemerintahan, reorientasi birokrasi serta perluasan partisipasi publik untuk mengembalikan akuntabilitas, legitimasi dan transparansi, namun tidak berarti sepi dari dampak pengelolaan pemerintahan.  Di negara-negara berkembang, kebijakan demikian semakin memperkokoh tumbuhnya demokrasi liberal yang pada akhirnya mendorong kembalinya pemerintah (eksekutif) meningkatkan kontrol yang lebih represif. Bagaimanapun kita masih percaya bahwa menciptakan pemerintahan yang kuat mutlak dibutuhkan bagi stabilitas politik yang dapat menjamin keberhasilan pembangunan.
Karakteristik Good Governance
Menurut UNDP (1997), pemerintahan yang baik setidaknya memiliki karakteristik akuntabilitas, transparansi, partisipasi, tertib hukum, responsif, konsensus, adil, efisiensi dan efektivitas, serta memiliki visi strategis. Komponen yang terlibat tidak saja domain pemerintah sebagai pelaksana, tetapi juga meliputi kelompok swasta sebagai pemegang modal dan masyarakat selaku civil society. Ketiga komponen tersebut sepatutnya berjalan secara paralel, saling mendukung dan saling berinteraksi.  Interaksi tersebut hendaknya dilandasi oleh sejumlah karakteristik yang memungkinkan tata kelola pemerintahan berjalan baik. Dalam konteks ini, good governance lebih menitikberatkan pada aspek proses melalui pendekatan fungsional guna mencapai tujuan yang diinginkan. Uraian selanjutnya akan mengembangkan makna dari sejumlah karakteristik yang melekat dalam konsep good governance.
Akuntabilitas, merujuk pada tanggungjawab setiap aktor dalam interaksi berpemerintahan. Meletakkan tanggungjawab satu-satunya pada sektor pemerintah bukanlah gagasan terbaik untuk menciptakan pemerintahan yang baik.  Tanggungjawab merupakan nilai penting yang semestinya berlaku pada semua elemen dalam proses pemerintahan.  Sebagai pemerintah, tanggungjawab diperlukan sebagai konsekuensi terhadap semua jenis kontrak dari level paling bawah hingga pusat pemerintahan. Tanggungjawab merupakan nilai yang mampu menjembatani relasi antara pemerintah dan masyarakat untuk menjamin keberlangsungan pemerintahan.  Tanggungjawab pemerintah pada segenap stakeholders selaku pemetik manfaat setidaknya memicu tumbuhnya trust sebagai modal bagi kontinuitas pemerintahan. Tanggungjawab pada elemen masyarakat dibutuhkan agar masyarakat sadar akan apapun outputpelayanan yang diberikan merupakan upaya paling maksimal yang dapat di produk pemerintah.  Pada akhirnya, tanggungjawab masyarakat tidak saja memanfaatkan seefektif mungkin apa yang diberikan oleh pemerintah, juga memelihara semua produk pelayanan yang diberikan, termasuk bertanggungjawab terhadap kegagalan pemerintah yang dipilih oleh mereka sendiri.  Demikian pula pada elemen lain, para pemegang modal (swasta) seyogyanya memegang prinsip tanggungjawab dalam interaksi dengan masyarakat dan pemerintah.  Setiap tindakan yang secara praktis berkaitan serta membebani masyarakat dan pemerintah, seharusnya dapat dipertanggungjawabkan secara murni dan konsekuen. Kasus Lumpur Lapindo di Indonesia (2005) mereflesikan tanggungjawab keseluruhan elemen, bukan saja pemerintah, swasta dan masyarakat. Sulit membayangkan jika pihak swasta lari dari tanggungjawab tersebut, sebab ketiga elemen tadi memiliki batasan terhadap tanggungjawab masing-masing. Transparansi,merupakan karakteristik yang memungkinkannya terbangunnya kepercayaan masyarakat terhadap apa yang diartikulasikan pemerintah dalam hal kepentingan dan kebutuhan masyarakat.  Rendahnya transparansi pemerintah berkenaan dengan perencanaan dan implementasi kebijakan menunjukkan lemahnya itikad baik dalam mewujudkan tujuan dan harapan masyarakat.  Salah satu sorotan utama dewasa ini adalah seberapa efektif pemerintah mampu memperjuangkan kepentingan masyarakat melalui anggaran yang tersedia.  Perencanaan yang transparan meyakinkan masyarakat tentang sejauhmana kepentingan mereka mampu didokumentasikan secara jujur oleh pemerintah.  Pada tingkat yang lebih jauh, seberapa kuat komitmen pemerintah dalam merealisasikan semua perencanaan yang telah disepakati.  Ketiadaan nilai transparansi seringkali ditunjukkan oleh mandeknya semua dokumen perencanaan tanpa realisasi, atau mengalami perubahan dipersimpangan jalan sesuai kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu. Akibatnya, semua perencanaan pemerintah kehilangan koneksitas dengan kepentingan masyarakat. Selain itu, indikasi meluasnya perilaku koruptif dalam pemerintahan semakin meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah kehilangan karakteristik transparansi dalam menjalankan fungsi pelayanan. Penyakit demikian bukan saja melanda pemerintah, demikian pula sektor swasta dan masyarakat pada tingkat tertentu. Hal ini dapat dilihat dalam kasus projek Pembangunan Wisma Atlit di Kemenpora. Partisipasi, menunjukkan keterlibatan masyarakat dalam penyusunan dokumen perencanaan pembangunan.  Partisipasi aktif masyarakat lebih jauh menggambarkan sejauhmana kepentingan mereka telah terakomodir dengan baik, selain melibatkan mereka dalam hal tanggungjawab yang lebih luas.  Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pemerintahan disebabkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya partisipasi dalam pembangunan.  Faktor pendidikan menjadi kunci penting dalam mendorong kesadaran masyarakat. Masalah berikut justru terletak pada  rendahnya keterbukaan pemerintah dalam melibatkan partisipasi masyarakat.  Kondisi ini tentu saja berhubungan dengan nilai transparansi, sehingga pemerintah terkesan sulit melibatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan.  Pemerintah yang buruk seringkali mengidap perasaan curiga yang berlebihan ketika masyarakat terlibat dalam setiap proses perencanaan pembangunan.  Disini terlihat jelas bahwa jika partisipasi masyarakat rendah, kemungkinan kesadaran mereka rendah pula disebabkan rendahnya tingkat pendidikan yang diperoleh sehingga bersikap apatis. Sebaliknya, jika pemerintah enggan melibatkan partisipasi masyarakat, kemungkinan kesadaran pemerintah juga rendah sehingga mendorong kecurigaan terhadap setiap keterlibatan masyarakat. Tertib hukum merupakan karakteristik yang memungkinkan terciptanya masyarakat taat hukum.  Ketaatan hukum memberikan landasan bagi pemerintah dalam menjalankan visi dan misi yang diemban, sekaligus memperlihatkan tingkat aksebilitas masyarakat terhadap pemerintah.  Semakin rendahnya kepatuhan hukum masyarakat menunjukkan semakin rendah pula tingkat penerimaan masyarakat terhadap pemerintahnya.  Tertib hukum dimaksudkan untuk menciptakan social order, yaitu suatu kondisi tertib bermasyarakat, sadar akan aturan yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat itu sendiri.  Dalam hubungan itu, dibutuhkan kesadaran pemimpin untuk memberikan contoh sehingga mampu mendorong terwujudnya tertib hukum.  Kehadiran pemerintah dalam setiap pelayanan masyarakat mengindikasikan hadirnya perlindungan bagi masyarakat, sekaligus menunjukkan adanya hukum itu sendiri.  Itulah mengapa seringkali gejala pemerintahan dipandang sebagai gejala hukum.  Responsif, adalah karakteristik pemerintah yang mampu memberikan tanggapan sedini mungkin, terhadap setiap masalah yang dihadapi masyarakat.  Kemampuan memberikan jawaban atas setiap masalah yang dihadapi masyarakat menunjukkan kemampuan pemerintah dalam memahami apa yang menjadi kebutuhan utama masyarakat. Kegagalan merespon setiap masalah yang dihadapi masyarakat menunjukkan ketidakpedualian pemerintah serta hilangnya sense of belonging atas problem yang dialami oleh masyarakat.  Dalam perspektif masyarakat, jangankan kehadiran, statement pemerintah sekalipun dapat dinilai sebagai respon positif terhadap masalah yang sedang mereka hadapi. Konsensus, adalah karakteristik yang menggambarkan kemampuan pemerintah dalam membangun kesepakatan antara tuntutan secara bottom-up dan top-down.  Konsensus juga merujuk pada bagaimana pemerintah membangun kesepahaman yang memungkinkan semua kepentingan dapat diakomodir pada saluran yang tersedia. Konsensus merupakan landasan bagi pencapaian komitmen bersama.  Komitmen bersama berkaitan dengan kepentingan stakeholder dalam mewujudkan tujuan yang diamanahkan pada pemerintah. Kegagalan membangun konsensus dapat meruntuhkan kepercayaan masyarakat dimana pemerintah dapat dinilai mengkhianati amanah yang diberikan. Kemampuan pemerintah memelihara konsensus yang telah dibangun dapat diartikan sebagai kemampuan pemerintah dalam memelihara amanah.
Adil merupakan karakteristik yang dapat mendorong akseptabilitas masyarakat pada pemerintahnya. Keadilan merupakan salah satu tujuan ingin dicapai oleh setiap pemerintah.  Keadilan lazimnya melekat pada para pelaku pemerintahnya, khususnya pemimpin.  Keadilan bertujuan untuk menciptakan pemerataan, sekaligus memberikan hak dan kewajiban secara proporsional. 
Efisiensi dan efektivitas merupakan karakteristik good governance yang merefleksikan kemampuan pemerintah dalam pencapaian tujuan secara tepat guna dan hasil guna.  Pencapaian tujuan dengan mempertimbangkan aspek efisiensi dan efektivitas dapat mendorong produktivitas pemerintahan menjadi lebih berkualitas tanpa membuang modal yang besar.  Kegagalan pemerintah dalam mempertimbangkan efisiensi dan efektivitas membuat pemerintah kehilangan modal serta tak mampu berbuat banyak, kecuali membiayai pegawai dilingkungannya masing-masing. Kondisi tersebut membuat pemerintah mengalami beban anggaran yang cukup besar selain tak mampu membuat kebijakan strategis.
Karakteristik visi strategis berkaitan dengan kemampuan pemerintah dalam mewujudkan cita-cita ideal namun realistis berdasarkan kebutuhan masyarakat.  Tanpa visi yang jelas pemerintah sebenarnya hanya menjalankan fungsi secara instingtif, tanpa penalaran jauh kedepan. Visi diharapkan menjadi petunjuk yang dapat dikonkritkan dalam bentuk misi, program hingga kegiatan teknis.  Visi menggambarkan masa depan pemerintahan dan memuat cita-cita ideal masyarakat yang dapat diwujudkan oleh pemimpinnya sejauh ia mampu dan konsisten.  Visi strategis membutuhkan kesinambungan dalam mengawal agenda-agenda yang telah ditetapkan.  Pemerintahan yang bertolak dari visi adalah pemerintahan yang memiliki pandangan jauh kedepan, serta memiliki cita-cita yang bersifat jangka panjang serta berkelanjutan.  Inilah sejumlah karakteristik pemerintahan yang baik (good governance) menurut UNDP.  Secara umum, karakteristik tersebut menjadi variabel penting tidak saja bagi pemerintah, demikian pula pihak swasta dan masyarakat luas.  Penciptaan tata kelola pemerintahan yang baik bukanlah semata-mata menjadi bagian dari kebijakan pemerintah, namun bersentuhan pula dengan nilai dan sikap yang dianut oleh pihak swasta dan masyarakat.  Menurut Gerry Stoker (1998), proposisi governance meliputi lima hal yaitu;  pertama, merujuk pada seperangkat institusi dan aktor yang terdapat pada dan di luar pemerintah. Kedua, mengidentifikasi kekaburan batas dan tanggungjawab untuk menangani isu-isu sosial ekonomi. Ketiga, mengidentifikasi ketergantungan kekuasaan yang terdapat dalam hubungan antara institusi yang melakukan tindakan kolektif. Keempat, adalah tentang jaringan aktor yang bersifat mandiri dan mengatur sendiri.  Kelima, mengakui kapasitas guna menyelesaikan sesuatu yang tidak bersandar pada kekuasaan pemerintah untuk memberikan komando atau menggunakan otoritasnya. Governancememandang pemerintah mempunyai kemampuan untuk menggunakan alat dan teknik baru dalam mengarahkan dan menuntun. Disamping itu, Hayden (dalam Hamdi, 2002:14), menyebutkan empat variabel dalam konsep governance, yaitu; authority yang berarti eksistensi kekuasaan yang legitimate, reciprocity, yaitu pengembangan pandangan penggunaan kekuasaan tidak selalu merupakan zero-sum game, tetapi juga dapat menjadi positive sum gameTrust, yang diartikan hidup bersama dan terikat, secara kompetitif atau koperatif dalam mengejar tujuan bersama.Accountabilitypada dasarnya memperkuat kepercayaan masyarakat dan sebaliknya.
Tantangan Reformasi Birokrasi dan Good Governance

Menurut Muhammad (2007), tantangan reformasi birokrasi meliputi tiga masalah pokok, yaitu pertama, faktor internal yang meliputi ketidakmampuan birokrasi mengubah dirinya menjadi lebih baik.  Kedua, faktor eksternal berkenaan dengan tingginya intervensi politik yang membuat birokrasi kehilangan konsentrasi dalam menjalankan fungsi pelayanan. Ketiga, faktor keraguan publik terhadap efektivitas kebijakan yang direncanakan dan diimplementasikan oleh birokrasi.  Faktor pertama disebabkan oleh kelemahan birokrasi dalam memperbaharui kinerjanya sesuai perkembangan lingkungan.  Tingginya dinamika masyarakat dalam menuntut pelayanan yang lebih baik tak serta merta diimbangi oleh kemampuan birokrasi dalam mengembangkan kecerdasan, kecakapan dan keterampilan dalam pengelolaan pemerintahan. Pola-pola pendekatan dan pelayanan kepada masyarakat secara nyata menunjukkan indikasi perilaku traditional.  Pelayanan birokrasi disandarkan pada hubungan kekeluargaan yang bersifat emosional, jauh dari karakter ideal birokrasi, yaitu suatu hubungan yang bersifat impersonal.  Harus diakui bahwa perbedaan kultur di dunia barat dan timur merupakan kenyataan yang harus diakui dalam pemberian pelayanan pada masyarakat.  Menyandarkan pelayanan dengan meletakkan prinsip impersonalitas secara kaku sebagaimana dimaksud Weber tidaklah menciptakan rasa keadilan yang memadai.  Setiap masyarakat yang dilayani terdiri dari masyarakat yang mampu dan tak mampu secara fisik dan non fisik.  Mereka yang secara fisik tak mampu, tentu saja membutuhkan pendekatan untuk dilayani secara jemput-bola.  Sedangkan mereka yang tak mampu secara non fisik, seperti masalah finansial, harus diberikan insentif yang seimbang agar pelayanan tetap diberikan secara merata. Sebaliknya, menyandarkan pelayanan dengan meletakkan hubungan personalitas secara keseluruhan sama halnya dengan menciptakan diskriminasi bagi kelompok masyarakat yang tak memiliki akses secara langsung pada pemerintah, sebab hanya mereka yang dikenal secara personal saja yang akan dilayani.  Ketidakmampuan birokrasi memahami pluralitas dalam masyarakat seringkali menimbulkan ketidakadilan dalam pelayanan.  Dalam konteks ini diperlukan birokrasi yang mampu beradaptasi dengan perkembangan masyarakat, serta mampu menjawab setiap persoalan tidak saja secara struktural, namun fungsional.  Pendekatan struktural dalam pelayanan seringkali berhadapan dengan aturan dan norma yang berlaku, sehingga sulit menyelesaikan masalah secara tuntas.  Pola penyelesaian masalah dengan menyandarkan semua pada aspek regulasi tak selalu membawa hasil maksimal. Masyarakat seringkali merasa frustasi karena pelayanan mereka mengalami kebuntuan hanya karena ketidakmampuan birokrasi saat menerjemahkan aturan yang berlaku. Sebaliknya, kelompok birokrat terkesan seperti robot yang kehilangan rasa kemanusiaan ketika semua perkara diselesaikan berdasarkan aturan yang berlaku.  Persoalaannya, bagaimana jika tuntutan masyarakat melampaui aturan itu sendiri yang kadangkala datang terlambat, atau bahkan terjadi kekosongan regulasi. Apakah dengan alasan yang sama pemerintah mesti menolak pelayanan kepada masyarakat?  Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan fungsional yang dapat menyelesaikan hingga ke akar masalah. Dalam konteks ini birokrasi seringkali menyimpan dan merawat masalah untuk kepentingan tertentu, tidak berupaya menyelesaikan masalah secara tuntas.  Pendekatan fungsional dalam pelayanan merupakan pola pendekatan untuk mengimbangi pendekatan struktural yang terkadang menghambat, berbelit-belit, membutuhkan waktu lama serta mengeluarkan biaya yang tak sedikit.  Perlu diingat bahwa melandaskan semua pelayanan secara fungsional juga tidak tepat, sebab semua pelayanan pada dasarnya membutuhkan pelembagaan formal sehingga dapat diawasi dan dikendalikan.  Dewasa ini, pola pendekatan fungsional mengalami banyak kemajuan, khususnya di level pemerintah pusat.  Lahirnya badan, lembaga dan komisi yang bersifat mezzo-struktur disamping lembaga formal yang telah ada,merupakan cerminan dari pola penyelesaian masalah dengan menggabungkan pendekatan struktural dan fungsional. Sekalipun demikian bukan berarti tanpa catatan, lembaga-lembaga tersebut tidak saja membebani anggaran birokrasi pemerintah secara umum, namun menimbulkan overlap serta kurang produktif.   
Faktor kedua yang menjadi tantangan reformasi birokrasi adalah tingginya intervensi politik dalam birokrasi. Politisasi birokrasi mendapatkan ruang ketika kelompok elit partai politik memanfaatkan momentum pemilukada untuk menggerakkan birokrasi sebagai mesin politik sekaligus aktivis politik.  Akibatnya, seperti yang dikatakan oleh Dwiyanto (2011), birokrasi mengalami pemecahan konsentrasi, sekaligus pada saat yang sama gagal melayani masyarakat sesuai misi yang dipikulnya.  Pecahnya konsentrasi birokrasi disebabkan sirkulasi kepala daerah setiap lima tahun sekali. Mereka yang dominan bersandar pada calon incumbent seringkali mengalami disorientasi saat kalah dalam kompetisi pemilukada.  Politisasi birokrasi menciptakan hubungan antara eksekutif dan legislatif mengalami dinamisasi serius kalau tidak ketegangan yang berkesinambungan.  Akibatnya, birokrasi yang mengambil jalan kompromi pada akhirnya turut mempersubur tingkat kebocoran anggaran baik di pusat maupun daerah, karena melakukan persengkokolan kolektif.  Indikasi tersebut bisa diketahui lewat ramainya kebocoran anggaran APBN oleh Badan Anggaran, serta bobolnya APBD pada saat perencanaan dan penetapannya.  Birokrasi yang mengambil jarak secara tegas dengan kelompok politisi justru mengalami ketegangan karena rentan kehilangan jabatan.  Sisanya kelompok birokrat yang mengambil sikap apatis terhadap dinamika yang terjadi dalam setiap rotasi pemerintahan. Intervensi politik terhadap birokrasi telah merangsang nafsu aparat untuk membangun komitmen rahasia dengan para elit dalam masa sirkulasi kekuasaan.  Komitmen tersebut berupa transaksi politik yang berujung pada persoalan siapa dapat apa, berapa banyak dan kapan.  Dalam konteks ini terbangun koalisi efektif antara eksekutif dan legislatif dalam pembobolan anggaran.  Kekuasaan yang besar membuat birokrasi terombang-ambing serta sulit menentukan netralitasnya sebagai pelayan masyarakat.  Semua itu di dukung oleh kemampuan kepala daerah dalam memobilisasi sumber daya  melalui sebagian anggota tim sukses yang berasal dari jajaran birokrasi. Mobilisasi sumber daya dilakukan bahkan secara terang-benderang melalui rekrutmen pegawai berdasarkan hubungan primordial danpatronase, bukan merit sistem apalagi kompetensi. Keadaan ini jelas mengembangkan perilaku koruptif dalam birokrasi sebagai konsekuensi dari hubungan yang bersifat transaksional.  Akibatnya, birokrasi terkesan bukan milik masyarakat namun elit berkuasa, yang dapat dilihat dari sikap dan orientasinya yang cenderung melihat keatas, daripada melihat kebawah. 
Faktor ketiga tantangan reformasi birokrasi adalah keraguan masyarakat terhadap setiap kebijakan yang dilaksanakan oleh birokrasi.  Rendahnya pendidikan serta kurangnya analisis terhadap setiap kebijakan yang diproduk, menjadikan birokrasi tak mampu membuat kebijakan yang efektif dalam menyelesaikan masalah. Tingginya resistensi yang ditandai oleh meningkatnya demonstrasi masyarakat dan pihak swasta yang merasa dirugikan oleh setiap kebijakan yang ditetapkan menunjukkan dua alasan diatas.  Keraguan masyarakat dan pihak swasta terhadap efektivitas kebijakan birokrasi disebabkan selain oleh dua faktor diatas, juga masalah kredibilitas birokrasi. Rendahnya kredibilitas birokrasi dalam mendesain suatu kebijakan dapat diketahui dari rendahnya keterlibatan pakar dalam bentuk asistensi, ketiadaan naskah akademik terhadap rancangan peraturan (khususnya peraturan daerah), serta rendahnya konsultasi publik terhadap rancangan peraturan yang dibuat.  Keseluruhan indikasi tersebut bermuara pada rendahnya kualitas rancangan kebijakan sehingga menimbulkan resistensi dari para pemangku kepentingan (stakeholders). Kelemahan rancangan kebijakan pada tahap perencanaan hingga tahap implementasi tak serta merta membuat birokrasi melakukan evaluasi yang berkelanjutan, namun berusaha menutupi kelemahan kebijakan tersebut. Sikap ekslusivisme dan seakan tau semua masalah mendorong birokrasi pada perilaku arogan ketika merespon setiap tuntutan masyarakat.  Disamping itu, keraguan masyarakat terhadap efektivitas kebijakan birokrasi tumbuh disebabkan oleh melimpahnya program yang dijanjikan namun kehilangan fokus saat implementasi.  Akibatnya, lebih banyak program yang bersifat list service, daripada realitas yang diharapkan.  Masyarakat terkadang merasa muak terhadap kelambanan dan kerakusan birokrasi  sebagaimana disinyalir oleh Barzelay (1982) dalam ‘Breaking Through Bureaucracy’. Pada akhirnya, keraguan masyarakat terhadap reformasi birokrasi secara umum tumbuh disebabkan oleh rendahnya kepercayaan pada sistem dan sumber daya manusianya. Buruknya sistem dalam pelayanan birokrasi membuat masyarakat tak merasa jelas dalam penyelesaian masalahnya.  Demikian pula buruknya perilaku birokrasi dalam hal pelayanan membuat masyarakat tak percaya apa yang selama ini dikerjakan oleh pemerintah. Gambaran ini setidaknya disinggung oleh Osborne & Gaebler (1992) dalam ‘Reinventing Government,bahwa masalah pemerintah terkadang bukan pada apa yang mereka kerjakan, namun bagaimana pelayanan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.


Reformasi Birokrasi dan Implementasi Good Governance

Seperti telah disinggung dalam pendahuluan, reformasi birokrasi merupakan upaya penataan kapasitas kelembagaan yang menyangkut sistem dan struktur birokrasi dalam menjalankan fungsi pokok sebagai pelayan masyarakat.  Jika secara politis birokrasi merupakan instrument kekuasaan dalam mewujudkan visi dan misi penguasa sesuai amanah rakyat yang dituangkan dalam bentuk kebijakan politik formal, maka reformasi birokrasi semestinya diarahkan pada upaya penciptaan situasi yang kondusif agar birokrasi netral dari pengaruh kekuasaan yang berlebihan. Apabila secara sosiologis birokrasi dipandang sebagai organisasi paling rasional yang memiliki sejumlah karakteristik sebagai pelaksana interaksi antara pemerintah disatu sisi dan masyarakat disisi lain, maka reformasi birokrasi selayaknya diarahkan pada penguatan karakteristik dimaksud, sekalipun mesti dengan sejumlah catatan pengecualian pada tahap implementasi. Jika secara administratif birokrasi dipandang sebagai media yang memudahkan pelayanan, menitikberatkan aspek efisiensi dan efektivitas serta memiliki mekanisme dan standarisasi yang jelas dalam interaksinya, maka reformasi birokrasi seharusnya diarahkan pada sejumlah alternatif pilihan kebijakan seperti reformasi struktural, kapasitasi dan instrumentasi. Kini, marilah kita cermati bagaimanakah desain kebijakan reformasi birokrasi sebaiknya dilakukan dalam mewujudkan fungsi birokrasi sekaligus mendorong penciptaan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Pertama, reformasi organisasi (struktural). Organisasi dapat diartikan dalam dua macam, pertama dalam arti statis, yaitu organisasi sebagai wadah tempat dimana kegiatan kerjasama dijalankan. Kedua dalam arti dinamis, yaitu organisasi sebagai suatu sistem proses interaksi antara orang-orang yang bekerjasama, baik formal maupun informal. Uraian selanjutnya akan lebih menitikberatkan pada pengertian kedua, yaitu organisasi dalam arti dinamis.  Hal ini sebabkan oleh faktor eksternal dan internal. Secara internal organisasi di dorong oleh tingginya tekanan kekuasaan, sedangkan secara eksternal di dorong oleh perubahan lingkungan yang lebih luas. Kedua faktor tersebut cukup dominan menjadikan organisasi pemerintah tampak dinamis. Desain reformasi struktural dapat dilakukan dengan meletakkan landasan kuat bahwa  organisasi adalah alat untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri.  Perbedaan pemahaman dalam manajemen pemerintahan seringkali menjadikan birokrasi tak efektif menjalankan tugas dan fungsinya. Boleh jadi dalam perspektif seorang kepala daerah birokrasi adalah alat untuk mewujudkan gagasan ideal dalam bentuk visi dan misi selama lima tahun, namun dalam  perspektif aparatur birokrasi adalah tujuan akhir berkenaan dengan bagaimana jabatan paling tinggi sebagai refleksi kekuasaan dapat dicapai.  Masalah kemudian bertambah ketika sebagian besar kepala daerah justru berpikir sama dengan aparatnya, yaitu bagaimana menjadikan birokrasi sebagai alat untuk memperoleh akses bagi keseluruhan sumber daya yang tersedia. Reformasi oganisasi tidaklah sekedar slogan kaya fungsi miskin struktur, namun lebih dari itu organisasi didesain berdasarkan kebutuhan, bukan kepentingan politik atau kelompok tertentu.  Pada level hirarkhis diperlukan pemangkasan yang memungkinkan jenjang struktural lebih pendek. Dalam jarak tertentu dibutuhkan pendelegasian yang memungkinkan pelayanan lebih efisien dan efektif.  Pada level horizontal dibutuhkan organ fungsional yang lebih fleksibel dalam menjawab tuntas akar masalah yang dihadapi.  Dominasi aspek struktural selama ini telah menciptakan kekakuan, selain membuang waktu dan biaya yang tak sedikit.  Panjangnya jalur hirarkhis membuat setiap masalah terkesan basi ketika kembali pada masyarakat, bahkan sulit bersentuhan langsung dengan para pengambil keputusan (decition maker).
Organisasi sebaiknya disusun berdasarkan hasil analisis jabatan dan beban kerja, bukan kompromi politik. Harus diakui bahwa budaya penyusunan organisasi di daerah selama ini cenderung mempraktekkan cara-cara penyusunan organisasi di tingkat pusat. Sistem pemilukada telah menjebak kepala daerah untuk melakukan rekonstruksi organisasi pemda lewat cara-cara resuhffle kabinet jilid satu, dua dan seterusnya. Pola penjenjangan karier kurang diperhatikan, bahkan hasil Baperjakat hanyalah unsur formalitas dalam penempatan personil pada struktur organisasi pemda. Kasus pencopotan pejabat setingkat sekretaris daerah dalam tempo singkat dan mutasi besar-besaran adalah contoh yang dapat diamati dalam wilayah pemerintah daerah. Akibatnya, organisasi Pemda memperlihatkan gejala obesitas yang sarat kepentingan politik para elit lokal sehingga sulit bergerak mencapai tujuan. Praktis organisasi dibentuk untuk menjawab kepentingan rezim berkuasa, bukan menjawab masalah yang dihadapi masyarakat. Kondisi ini tidak saja berlaku di daerah, namun dipraktekkan terang-benderang di level pusat melalui perluasan organisasi pemerintahan. Potret tersebut terlihat tidak saja pada perluasan kementerian departemen, namun tampak pada puluhan organisasi setingkat lembaga, badan dan komisi.  Ironisnya, pengetatan organisasi agar lebih ramping dan kaya fungsi diutamakan pada pemerintah daerah melalui kebijakan PP No. 41 Tahun 2007, namun gagal melakukan efisiensi organisasi di level organisasi pemerintah pusat. Melebarnya ukuran organisasi tanpa analisa kebutuhan jabatan dan beban kerja membuat performance organisasi pemda khususnya terkesan tambun dan statis. Ini bisa dipahami jika dihubungkan dengan bertambahnya rekrutmen pegawai setiap tahun tanpa pengendalian berdasarkan kompetensi.  Rekrutmen pegawai tanpa kompetensi pada akhirnya hanya akan menyerap besaran APBD yang tak sedikit guna meningkatkan kecakapan dan keterampilan pegawai, disamping tersisihnya peluang bagi rekrutmen pegawai yang memiliki kompetensi ideal seperti guru, analis kebijakan, dokter, apoteker dan perawat. Postur organisasi Pemda yang mengalami kegemukan tentu saja dapat menyedot belanja aparatur lebih besar dibanding belanja pembangunan. Realitas ini dapat ditemukan pada sejumlah kabupaten seperti Lumajang, Tasikmalaya, Sragen, Palu, Ambon dan Bitung misalnya, dimana lebih dari 70% APBD habis untuk belanja aparatur (FITRA:2011).
Kedua, diperlukan reformasi kapasitasi yang memadai guna meningkatkan kemampuan aparatur dalam melayani masyarakat. Reformasi kapasitasi adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan sumber daya birokrasi dalam pelayanan agar mampu mengimbangi dinamika masyarakat. Reformasi kapasitasi berkaitan dengan kemampuan birokrasi baik secara individual maupun kelompok yang ditunjukkan pada kemampuan menerjemahkan visi dan misi, program dan kegiatan. Pengembangan kapasitas aparatur berfokus pada aspek pendidikan dan pengalaman yang akan menentukan nilai profesionalisme birokrasi dihadapan masyarakat. Profesionalisme sekurang-kurangnya ditunjukkan oleh sertifikasi pendidikan dari jenjang dasar hingga jenjang yang lebih tinggi. Aspek tersebut diimbangi oleh segudang pengalaman pada berbagai organisasi yang memiliki nilai dan kompetensi utama.  Kedua aspek tadi setidaknya dapat membentuk kemampuan individual, sekaligus pada saat yang sama mendorong kemampuan kolektivitas birokrasi. 
Rendahnya pendidikan aparatur mengakibatkan kesenjangan antara mereka yang dilayani dan mereka yang melayani.  Kesenjangan ini seringkali menimbulkan ketegangan sekaligus kecurigaan terhadap kinerja birokrasi. Parahnya, tertutupnya kebijakan pengembangan pendidikan dan lahirnya diskriminasi dalam pengembangan sumber daya di daerah melahirkan kasus jalan pintas lewat indikasi ijazah palsu dan gelar pendidikan tanpa jelas asal-usulnya. Untuk mengantisipasi hal itu diperlukan desain kebijakan reformasi kapasitasi jangka panjang dan jangka pendek. Dalam jangka panjang diperlukan pendidikan yang berbasis pada kebutuhan dan karakteristik organisasi pemerintah daerah.  Sebagai perbandingan, daerah-daerah yang berbasis kompetensi kelautan, perikanan, pertanian dan jasa, kiranya membutuhkan aparat yang menguasai sektor unggulan dimaksud. Ini penting untuk mendorong perkembangan daerah lebih cepat dan kompetitif.  Pembangunan berbasis keunggulan lokal membutuhkan birokrasi yang mampu menjawab tantangan yang muncul.  Dalam jangka panjang dibutuhkan aparatur yang memiliki pengetahuan yang memadai guna penyusunan rencana kegiatan hingga keterampilan mengimplementasikan suatu program secara efektif. Pada akhirnya, semakin tinggi kapasitas pemerintah daerah semakin rendah pula resiko yang akan dihadapi dimasa mendatang.  Sebaliknya, semakin rendah kapasitas pemerintah daerah, semakin tinggi resiko yang akan dihadapi. Dampaknya, birokrasi dan pemerintah secara keseluruhan dapat kehilangan kepercayaan masyarakat.
Dalam jangka pendek, diperlukan desain kebijakan praktis, pertama, peningkatan insentif yang berfungsi mendorong spirit dan kinerja birokrasi.  Spirit tersebut diarahkan untuk melahirkan nilai kompetitif sehingga mampu menciptakan keadilan bagi birokrasi yang berprestasi. Keadilan dapat diterapkan melalui pembayaran insentif berdasarkan penilaian kinerja birokrasi.  Pemerataan selama ini hanya membuktikan bahwa mereka yang kerja dan tidak, sama-sama mendapatkan perlakuan khusus.  Fakta ini jelas kurang mendorong kompetisi serta menciptakan ketidakadilan, termasuk menurunkan penghargaan bagi mereka yang benar-benar memiliki profesionalisme. Pola penggajian dan insentif yang bervariasi sebagaimana pernah diterapkan sejumlah pemerintah daerah seperti Kabupaten Jembrana Provinsi Bali, menunjukkan dampak positif dalam mendorong kinerja birokrasi.
Kedua, reformasi birokrasi dalam jangka pendek hendaknya mampu menciptakan sistem internal yang dapat mendorong secara perlahan tumbuhnya kesadaran birokrasi sebagai pelayan masyarakat. Kesadaran yang terus meningkat hingga membuahkan inovasi, kreativitas dan kemandirian hendaknya memperoleh penghargaan yang setimpal guna mendorong semangat yang sama pada aparat yang lain. Demikian pula pola penerapan sanksi dibutuhkan semaksimal mungkin dengan maksud pembinaan secara proporsional.  Penerapan sanksi bukanlah tujuan akhir, jauh lebih penting dari itu adalah lahirnya dampak positif bagi birokrasi untuk kembali pada tugas dan fungsinya masing-masing. Pembiaran terhadap tumbuhnya kreativitas tanpa apresiasi dapat menurunkan semangat untuk berkarya dan mengabdi pada organisasi.  Pada sisi lain membiarkan kelalaian birokrasi sama maknanya dengan menyetujui sekaligus membolehkan kesewenang-wenangan dalam pelayanan masyarakat. Oleh sebab itu harus dipahami bahwa penarapan reward and punishment memiliki arti strategis bagi organisasi, yaitu mendorong berkembangnya birokrasi agar lebih disiplin dan bertanggungjawab serta mampu merespon perkembangan masyarakat, sekaligus melindungi birokrasi dari perilaku buruk aparatur yang berinteraksi didalamnya.
Ketiga, diperlukan penataan sistem yang secara eksternal efektif dapat mengurangi politisasi birokrasi yang dapat memecahkan konsentrasi aparatur dalam melayani masyarakat. Lewat sistem yang ada, birokrasi sangat rentan diintervensi oleh elit lokal guna memenuhi  kepentingan kelompok tertentu dalam sirkulasi kekuasaan.  Guna mengurangi kepentingan politik maka birokrasi sebaiknya mengambil jarak untuk bersikap netral.  Statement ini tentu saja tidak mudah diperoleh dilapangan empirik, faktanya sebaliknya, birokrasi sulit menolak ransangan para elit untuk berkoalisi memenangkan calon tertentu.  Semua konsekuensi tersebut dilakukan tentu saja berdasarkan transaksi minimum lewat jabatan-jabatan strategis dan menggiurkan. Politisasi birokrasi membuat aparat menjadi bulan-bulanan elit lokal.  Mengambil jarak terlalu jauh beresiko kehilangan jabatan, terlalu dekat sama artinya menceburkan diri dalam ketidakpastian lebih beresiko, sebab itu diperlukan sistem eksternal yang dapat membentengi birokrasi dari kepentingan politik yang berlebihan. 
Keempat, reformasi birokrasi dalam jangka pendek diarahkan pada upaya pencegahan (preventive) perilaku korupsi dalam tubuh birokrasi. Sejauh ini, indeks persepsi korupsi di Indonesia belum berubah sesuai catatanInternational Transparancy, sebesar 2,8.  Hal ini menunjukkan bahwa perilaku buruk birokrasi perlu diperbaiki. Korupsi merupakan kejahatan extra ordinary sehingga membutuhkan upaya-upaya yang bersifat luar biasa. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi dimaksudkan untuk membantu pemerintah dalam meminimalisasi gejala korupsi.  Bercermin pada China yang berani menerapkan tindakan tegas bagi pelaku korupsi, maka dibutuhkan reformasi birokrasi yang mampu mencegah terjadinya tindak pidana korupsi dilingkungan birokrasi pemerintahan. Korupsi bukanlah budaya positif yang tumbuh pada masyarakat, sebab semua norma sosial termasuk agama tidaklah mentolerir perilaku buruk semacam itu. Perlu dipahami bahwa sistem insentif sebagaimana dikemukakan sebelumnya bukanlah jalan satu-satunya dalam mengurangi tindak pidana korupsi.  Perilaku birokrasi yang korup cenderung termotivasi oleh pengaruh lingkungan serta tuntutan domestik.  Berkaitan dengan reformasi birokrasi diperlukan sistem yang mengikat secara ketat, disamping penerapan sanksi berat dalam setiap tindakan yang disangkakan.  Tentu saja reformasi birokrasi dalam jangka panjang termasuk jangka pendek sulit dilakukan tanpa dimulai dari perubahan budaya kerja kearah positif. Perubahan budaya kerja yang diawali dari kebiasaan menanamkan keseluruhan karakteristik pemerintahan yang baik diharapkan mampu menghasilkan birokrasi yang dapat menjalankan fungsinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Sebagai abdi negara, birokrasi membutuhkan legitimasi de jure untuk menjalankan semua keputusan politik pemerintah.  Sedangkan sebagai abdi masyarakat, birokrasi membutuhkan legitimasi de facto sebagai penyambung kepentingan kepada pemerintah yang berkuasa.  Budaya kerja positif diharapakan tidak saja menular pada pemerintah, demikian pula pada elemen masyarakat dan wiraswasta.
Bagian ketiga dari gagasan reformasi birokrasi berkenaan reformasi instrumentasi yang mencakup penyiapan regulasi baik undang-undang di tingkat pusat hingga peraturan pada level pemerintah daerah.  Reformasi instrumentasi berfungsi sebagai landasan kebijakan yang bersifat legalistik-formal untuk menghindari tuntutan masyarakat terhadap kinerja birokrasi.  Landasan kebijakan secara umum diharapkan mampu melindungi pemerintah dan segenap pemangku kepentingan dalam lingkup good governance. Dalam banyak kasus birokrasi seringkali dianggap gagal menyiapkan instrumen bagi landasan pelayanan masyarakat. Gejala tersebut dapat dilihat pada sejumlah hasil temuan BPK dimana pengeluaran anggaran pemerintah daerah khususnya kehilangan landasan yuridis.   Reformasi instrumentasi pada tingkat teknis setidaknya dapat memperjelas mekanisme dan prosedur pelayanan oleh birokrasi pemerintahan.  Tanpa standar operational procedure, birokrasi layaknya berjalan menggunakan insting dimana pada kondisi tertentu dapat berbenturan dengan norma dan ketentuan yang berlaku.  Sebaliknya, ketatnya mekanisme dan prosedur dapat membentuk budaya birokratisme yang pada gilirannya mendorong perilaku “melambung” (by pass) untuk mempercepat pelayanan.  Situasi demikian seringkali menyuburkan praktek suap, kolusi dan berkembangnya jaringan mafia dalam tubuh birokrasi.  Kendati dengan alasan efisiensi, pada akhirnya menimbulkan masalah lebih kompleks yaitu ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Kasus Bank Century, Wisma Atlit, surat palsu di Mahkamah Konstitusi hingga Kemenakertrans adalah contoh gamblang dalam konteks terbentuknya jaringan mafia birokrasi antara pemerintah, pemegang modal dan masyarakat biasa. Reformasi instrumentasi diharapkan tidak hanya berkaitan dengan landasan hukum, mekanisme dan prosedur, juga berhubungan dengan seperangkat alat baik sarana dan prasarana yang memungkinkan birokrasi mampu mengembangkan dirinya dalam memberikan pelayanan yang bermutu.  Strategi pelayanan jemput bola melalui penggunaan sarana dan prasarana yang tersedia seperti teknologi informasi dan transportasi merupakan keseluruhan paket reformasi instrumentasi dalam kerangka besar reformasi birokrasi dan implementasi good governance.
Berkaitan dengan implementasi good governance, pemerintah pada dasarnya telah banyak melakukan terobosan melalui berbagai regulasi yang memberikan peluang diterapkannya karakteristik tata kelola pemerintahan yang baik. Salah satu contoh dapat dilihat dalam kebijakan UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan menjadi landasan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, walaupun disadari belum sepenuhnya dapat dilaksanakan secara baik. Contoh konkrit lain dapat dilihat dalam instrumen evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memuat sejumlah variabel dan indikator sebagai refleksi dari tercapainya karakteristik tata kelola pemerintahan yang baik, seperti landasan yuridis kebijakan serta tingkat partisipasi masyarakat.  Indikator lain yang bisa diamati adalah persyaratan adanya SOP sebagai pedoman bagi setiap pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi dan tugas pokoknya dilapangan. Pada karakteristik transparansi misalnya, dilahirkannya regulasi tentang keterbukaan informasi publik oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi menunjukkan komitmen pemerintah dalam memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat.  Karakteristik konsensus dilakukan melalui upaya dokumentasi perencanaan APBN dan APBD sebagai bentuk kesepakatan bersama antara eksekutif dan legislatif yang notabene dipilih dan mewakili masyarakat itu sendiri. Pengembangan kesetaraan sebagai bagian dari karakteristik tata kelola pemerintahan yang baik dapat dilihat dalam mekanisme pemilihan pemimpin politik yang ramah gender serta terbuka bagi setiap warga negara menurut batasan konstitusi dan undang-undang.  Karakteristik efisiensi dan efektivitas merupakan prinsip yang senantiasa diakomodir dalam undang-undang pemerintahan daerah termasuk peraturan yang menjadi turunannya, terlepas bahwa prinsip tersebut masih sering dilanggar oleh pemerintah daerah.  Karakteristik visi strategis menjadi syarat mutlak bagi setiap kandidat pemimpin pemerintahan ketika mencalonkan diri sebagai pejabat publik. Strategi ini dilakukan melalui persyaratan fit and proper test yang dilakukan pada sejumlah calon pejabat setingkat kepala daerah maupun pimpinan lembaga, badan dan komisi. Prinsip akuntabilitas dapat dilihat pada sejumlah instrument pertanggungjawaban seperti PP No.3/2007 tentang Pertanggungjawaban Kepala Daerah yang meliputi LPPD, LKPJ dan LIPD.  Prinsip ini mengalami perkembangan sejak lahirnya lembaga yang berfungsi melakukan evaluasi serta pengawasan baik secara internal, eksternal, fungsional, politik maupun pengawasan publik.  Penyampaian laporan perkembangan harta kekayaan yang dimiliki oleh setiap pejabat publik mencerminkan diterapkannya prinsip akuntabilitas dan tranparansi. Bahkan, pencanangan pendidikan karakter sejak usia dini oleh Kementrian Pendidikan Nasional merupakan terobosan jangka panjang dalam upaya menanamkan nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, tanggungjawab, tranparansi, kesetaraan, dan akuntabilitas.  Kesemua itu merupakan modal dasar dalam rangka penumbuhan, pengembangan dan implementasi karakteristik good governance.