Kamis, 23 Mei 2013

GIZI, PEREMPUAN, DAN MASA DEPAN BANGSA


GIZI, PEREMPUAN, DAN MASA DEPAN BANGSA

Secara global diakui bahwa status kesehatan merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan program pembangunan dan kesejahteraan nasional suatu masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari  status gizi masyarakat. Status gizi masyarakat sangat menentukan kualitas sumberdaya manusia, prestasi akademik dan daya saing bangsa. Kasus gizi buruk, angka kematian ibu dan bayi, dan angka kurang gizi pada ibu dan anak diyakini akan menurunkan kualitas sumberdaya dan daya saing bangsa, sehingga dapat menghambat laju pembangunan bangsa dan negara. Untuk itu, pemerintah sebagai pembuat kebijakan telah melakukan banyak cara untuk membangun masyarakat yang sehat, baik laki-laki dan perempuan, dewasa dan anak-anak. Bersama-sama dengan pemerintah daerah, lembaga donor, dan swasta telah dilakukan program pemberian dana, bantuan teknis, fasilitas, dan advokasi dalam hal kesehatan, pangan dan gizi pada masyarakat Indonesia.
Akan tetapi, data yang ada selama ini menunjukkan hasil yang kurang menggembirakan.  Misalnya untuk fenomena gizi buruk, data dari Unicef menyatakan bahwa pada tahun 2011 Balita yang menderita gizi buruk di Indonesia sebesar 40%. Kasus gizi buruk ditemukan tidak hanya di perdesaan, tapi juga perkotaan. Di Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur permasalahan ini selalu muncul seakan menjadi persoalan yang tidak teratasi.
Sedangkan angka kematian ibu melahirkan (AKI) Indonesia masih tertinggi di ASEAN, yaitu sebesar 228/100.000 kelahiran hidup. Sebesar 55% kematian ibu disebabkan oleh pendarahan dan pre-eclampsia yang terkait erat dengan kondisi gizi buruk semasa hamil. Sementara itu, angka kematian bayi (AKB) adalah 34 per 1.000 kelahiran hidup. Padahal, target yang ingin dicapai secara global melalui Millenium Development Goals/Tujuan Pembangunan Milinium – dimana Indonesia ikut berpartisipasi didalamnya – pada tahun 2015 adalah menurunkan AKI menjadi 102/100.000 kelahiran hidup, dan menurunkan AKB menjadi 23/1.000 kelahiran hidup (Kompas, 24 Februari 2011).
Jika kita menilik pada upaya yang telah dilakukan untuk menyehatkan masyarakat yang hasilnya kontras dengan realitas yang ada, tentu muncul pertanyaan mengapa kasus gizi buruk pada Balita dan pada ibu hamil, dan angka kematian ibu melahirkan serta bayi masih tetap tinggi? Untuk melihat permasalahan ini, perlu disadari bahwa permasalahan kesehatan, pangan dan gizi adalah persoalan multifaktor. Persoalan ini bukanlah hal yang berdiri sendiri, muncul tiba-tiba dan sesekali. Tanpa melihat akar masalahnya tujuan yang ingin dicapai oleh program kesehatan dan MDGs merupakan hal yang sangat ambisius.
Tulisan ini bertujuan untuk mengulas pentingnya upaya peningkatan status kesehatan dan status gizi pada masyarakat, khususnya pada perempuan dan anak dengan menggunakan perspektif gender. Diyakini oleh banyak pihak bahwa salah satu kunci pemecahan permasalahan tersebut adalah pemenuhan gizi bagi ibu hamil dan Balita untuk menekan tingginya AKI dan AKB sekaligus menekan fenomena gizi buruk serta melahirkan generasi yang sehat dan cerdas. Namun upaya tersebut merupakan suatu proses yang kompleks, yang bukan hanya ditentukan oleh faktor teknis kesehatan, tetapi juga faktor ekonomi, politik, dan sosial budaya – bagaimana nilai-nilai sosial budaya menempatkan perempuan dalam keluarga, masyarakat dan negara.
Pentingnya Gizi Bagi Ibu Hamil dan Balita
Pemenuhan gizi bagi perempuan memegang peran yang signifikan dalam menurunkan AKI, AKB dan menentukan kualitas anak yang akan dilahirkannya. Fakta mengatakan bahwa permasalahan gizi merupakan masalah intergenerasi, karena ibu hamil yang kurang gizi akan melahirkan bayi kurang gizi. Secara medis, diketahui bahwa ibu hamil yang kurang gizi berisiko melahirkan bayi berat lahir rendah yang berisiko memiliki IQ rendah dan tumbuh kembang dengan tidak optimal. Jalal (dalam Bappenas, 2011) menyebutkan bahwa sejumlah penelitian menunjukkan peran penting zat gizi tidak hanya pada pertumbuhan fisik saja, tapi juga pertumbuhan otak, perkembangan perilaku, motorik, dan kecerdasan.
Martorell (ibid) juga menyatakan bahwa kekurangan gizi pada masa kehamilan dan anak usia dini menyebabkan keterlambatan dalam pertumbuhan fisik, perkembangan motorik, dan gangguan perkembangan kognitif. Gizi buruk pada saat sebelum kehamilan dan masa kehamilan mempengaruhi tumbuh kembang janin dan berakibat buruk pada kesehatan janin/anak di masa depan, termasuk dampak yang harus ditanggung oleh keluarga, masyarakat dan negara. Sebagai contohnya adalah kekurangan gizi pada Balita dan ibu hamil akan berakibat pada biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh keluarga dan pemerintah, karena banyaknya warga yang mudah terserang penyakit sebagai akibat kurang gizi. Dampak lainnya adalah menurunnya kualitas sumberdaya manusia dan produktifitas kerja. Karena itu investasi gizi pada perempuan dan anak merupakan hal penting yang harus dilakukan.
 Feminisasi Isu Gizi
Tak dapat disangkal bahwa permasalahan kesehatan, pangan dan gizi sangat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya, ekonomi dan politik. Nilai-nilai sosial budaya merupakan acuan perilaku kesehatan masyarakat. Terkait dengan pemenuhan pangan dan gizi, dalam setiap masyarakat makanan adalah elemen penting bagi kehidupan manusia. Budaya membentuk pola pemahaman masyarakat tentang apa definisi makanan; oleh siapa makanan itu boleh dimakan; kapan boleh dimakan; dan bagaimana makanan itu dimakan. Pola makan mempunyai implikasi sosial dan pada kondisi kesehatan individu dan masyarakat.  Pola ini terinternalisasi sejak kanak-kanak dan menjadi kebiasaan setelah dewasa.
Umumnya nilai-nilai sosial budaya patriarki menempatkan peran ibu dan perempuan dalam hal pengelolaan makanan dan pemenuhan gizi keluarga di tingkat rumah tangga dan masyarakat – sebagai bagian dari peran domestik perempuan. Contohnya, sampai saat ini masih dijumpai pola makanan dalam keluarga menurut kedudukan seseorang dalam keluarga, dimana makanan untuk Bapak dan laki-laki dewasa lebih diutamakan dengan porsi lebih banyak dan jenis lauk bervariasi dibanding untuk ibu dan anak-anak. Sosialisasi dan praktik tabu makanan pun masih dijumpai di masyarakat, misalnya larangan makanan tertentu bagi perempuan, ibu hamil, dan Balita, padahal makanan tersebut sangat bermanfaat bagi kesehatan.
Kemudian faktor kemiskinan adalah muara lain dari persoalan gizi buruk. Pengertian kemiskinan bermakna banyak dan multidisiplin, namun esensi dari definisi kemiskinan adalah tiadanya akses pada hal-hal vital dalam hidup. Orang kurang/tidak punya akses pada sumberdaya dasar yang menopang kehidupan seperti air bersih, rumah layak huni, alat kerja, makanan bergizi, pendidikan, fasilitas dan layanan kesehatan, lingkungan sehat dan lapangan kerja. Bank Dunia mencatat bahwa 50 persen rumah tangga di Indonesia tergolong rentan miskin akibat krisis ekonomi (Kompas, 23 Desember 2012).
Dalam kondisi miskin yang menjadi masalah dalam pemenuhan pangan dan gizi adalah ketersediaan bahan makanan. Karena dikondisikan oleh nilai sosial budaya sebagai pengelola makanan dalam keluarga, perempuan akan ikut memikirkan bagaimana anaknya bisa makan dan cenderung mengabaikan kebutuhan gizinya sendiri. Gizi buruk pada Balita dan anak-anak banyak terjadi sejak mereka dilahirkan. Kemiskinan dan ketidakmampuan keluarga menyediakan makanan bergizi bagi perempuan hamil dan anak-anak menjadi penyebab utama meningkatnya korban gizi buruk di Indonesia.
Gizi buruk tidak hanya ditemukan pada keluarga miskin, tapi juga pada keluarga yang mampu secara ekonomi. Bagi golongan mampu yang menjadi faktor adalah pola makan, kesadaran gizi dan tanggung jawab orangtua. Sebagian besar dari kita termasuk juga kebijakan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam bidang kesehatan, cenderung menunjuk pada peran ibu terkait dengan pemenuhan gizi pada keluarga. Padahal, pemenuhan gizi pada anak adalah tanggung jawab orangtua, baik ibu maupun bapak, masyarakat dan negara.
Faktor kultural yang diwarnai nuansa patriarki juga ikut menyumbang perilaku kesehatan dalam relasi gender di dalam keluarga dan masyarakat, khususnya status kesehatan reproduksi dan seksual perempuan. Misalnya, lemahnya posisi tawar perempuan dapat mengancam kesehatan perempuan dan anak yang dilahirkannya. Konsep istri harus patuh pada suami menyebabkan perempuan tidak mampu menolak untuk berhubungan seks dengan suami yang mengidap penyakit menular seksual, seperti HIV/AIDS. Karena meminta pasangan menggunakan kondom dan menanyakan kondisi kesehatan seksual suami biasanya dianggap hal yang tabu dan mempertanyakan kesetiaan suami. Padahal data Kementrian Kesehatan menyatakan bahwa 34 persen HIV/AIDS terjadi pada perempuan dan kasus tertinggi (288 kasus) pada ibu rumah tangga (Kompas, 22 Desember, 2011).
Selain itu, faktor budaya mengenai pernikahan dini juga berpengaruh pada status kesehatan perempuan dan anak. Tanpa perencanaan yang matang, perempuan bisa terus-menerus hamil dan melahirkan. Selain melelahkan, perempuan dan anak yang dilahirkan akan berpeluang kekurangan gizi. Dalam kondisi ini, karena tanggung jawab domestik yang besar pada perawatan dan pengasuhan anak-anak yang berjumlah banyak, perempuan tidak bisa mengembangkan potensi dirinya secara optimal. Ketidaktahuan ibu mengenai resiko kehamilan dan bahaya melahirkan juga bisa memicu kematian ibu dan anak.
 Strategi Kebijakan dan Praktis: Pemberdayaan Keluarga dan Komunitas
Terkait dengan kompleksitas permasalahan gizi, maka kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan program praktis yang diaplikasikan di tingkat masyarakat perlu memasukkan faktor sosial budaya, kemiskinan, pendidikan, persepsi masyarakat mengenai hak asasi manusia termasuk gender, persepsi mengenai kesehatan reproduksi termasuk tabu makanan dan praktik kesehatan tradisional yang bertentangan dengan kesehatan modern.
Program gizi jangan hanya diarahkan pada kebutuhan anak tapi juga bagi ibu. Persoalan gizi buruk pada anak memang penting, namun ibu hamil yang mengalami kekurangan gizi, akan mengakibatkan angka kematian ibu dan anak yang tinggi.
Implementasi kebijakan dalam hal kesehatan dan gizi jangan hanya menekankan pada peran ibu/perempuan. Program pemberdayaan perempuan untuk sadar kesehatan dan gizi memang perlu, tapi tanpa dukungan suami dan masyarakat tujuan program tersebut akan sulit dicapai. Akan lebih baik jika program diarahkan pada pemberdayaan orangtua (ibu bapak) dan komunitas. Di tingkat keluarga, perlu ada informasi dan pelatihan bahwa pemenuhan gizi keluarga menjadi tanggung jawab suami istri dan kedua orangtua, bukan hanya tanggung jawab ibu/perempuan.
Pada level komunitas, misalnya, isu gizi terkait erat dengan persoalan ketahanan pangan dan ekonomi. Untuk itu diperlukan pemikiran yang kreatif dalam menciptakan program yang lebih realistis, menggugah kepedulian masyarakat dan swasta, dan efeknya berjangka panjang. Keterlibatan masyarakat dan swasta adalah penting dalam konteks kekinian yang menekankan pada partisipasi sebagai bagian dari penerapan prinsip demokrasi. Karena itu masalah pemenuhan gizi, kasus gizi buruk, AKI dan AKB tidak harus dipikirkan oleh pemerintah saja, tapi juga oleh masyarakat, perempuan dan laki-laki dan swasta. Contoh yang dapat diberikan adalah kampanye lumbung pangan, pemanfaatan pekarangan, kolam dan sungai untuk perikanan, dan diversifikasi pangan baik di perkotaan maupun perdesaan. Kepedulian individu, masyarakat dan pemerintah dalam upaya pemenuhan gizi masyarakat akan berdampak signifikan pada penurunan AKI, AKB dan kasus gizi buruk. Upaya ini secara tidak langsung akan mencerdaskan generasi yang akan datang (as/03/12).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar