Kamis, 23 Mei 2013

masalah Ketidak Percayaan masyarakat terhadap Penegak hukum


Ketika Masyarakat Sudah Main Hakim Sendiri, Negeri Ini di Ujung Kehancuran?


Akhir-akhir ini negeri kita yang tercinta Indonesia, banyak sekali terjadi peristiwa yang membuat kita miris dan sedih untuk melihatnya, sebabnya adalah semakin banyaknya kasus main hakim sendiri dikalangan masyarakat, apa yang menyebabkan semua itu terjadi.
Beberapa minggu terakhir kita dikejutkan oleh berita yang mengganggu situasi politik, hukum, dan keamanan yaitu kasus penyerangan Lapas Cebongan di Sleman, Yogyakarta, kasus main hakim sendiri terhadap Kapolsek Dolok Pardamean AKP Andar Sihaan, penyerangan 4 tahanan Lapas Cebongan, penembakan Kepala RS Bayangkara Polri Makassar Kombes Purwadi, serta aksi-aksi kekerasan dan pengrusakan yang terjadi di Palopo, Sulawesi Selatan, dampak dari  pemilukada dan masih banyak kasus-kasus yang lainnya yang terjadi ditengah-tengah masyarakat.

Mengapa Main Hakim Sendiri
Mengapa begitu mudahnya masyarakat melakukan tindakan main hakim sendiri, Alasan mengapa masyarakat lebih sering main hakim sendiri saat ini timbul karena berbagai faktor:

1. Faktor pertama adalah persoalan psikologis yang saat ini terjadi pada masyarakat. Alasan psikologis bisa jadi ditimbulkan karena tekanan ekonomi yang serba sulit yang melahirkan rasa frustasi. Hidup dalam keadaan tertekan ditambah lagi adanya kesenjangan sosial antara kaya dan miskin yang lebar menimbulkan gesekan sosial.

2. Faktor kedua adalah  ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Saat ini sedang terjadi kondisi dimana tatanan sistem hukum yang dijalankan oleh pemerintah dalam arti luas tidak lagi dipercaya oleh masyarakat. Kondisi ini memiliki ciri-ciri dimana hukum tidak lagi dipandang sebagai human institution yang dapat memberikan rasa perlindungan hak-haknya sebagai warga negara. Oleh karena itu, harus segera dilakukan langkah-langkah untuk melakukan pengembalian kepercayaan tersebut.

3. Faktor ketiga, komunikasi masyarakat dan aparat penegak hukum yang kurang atau belum tersosialisasikan dengan baik sehingga pada saat membutuhkan pertolongan hukum, masyarakat mengalami kebingungan.
Setiap kali terjadi tindakan main hakim sendiri oleh warga, polisi adalah aparat penegak hukum yang paling banyak direpotkan. Dalam banyak kejadian, warga baru melaporkan kejadiannya setelah korban babak belur bahkan tewas di tangan mereka. Amuk warga kembali mengingatkan. Masyarakat memelurkan kepastian penegakan hukum oleh aparat.
Banyaknya kasus kekerasan dan main hakim sendiri menunjukkan lemahnya penyelesaian masalah oleh pemerintah. Maraknya kasus kekerasan juga semakin menurunkan kepercayaan publik dalam konteks hukum dan keamanan nasional. Pemerintah dan masyarakat diminta tak membiarkan pola main hakim sendiri terus berlanjut, Karena jika terus akan dibiarkan maka akan berlaku hukum rimba, dimana yang kuat memangsa yang lemah.
Sikap main hakim sendiri berkorelasi dengan rendahnya mutu penegakan hukum. Masyarakat stres dan frustrasi: melihat kasus pencurian menjadi biasa, tindak kekerasan meningkat, dan belakangan kekerasan dan kejahatan seksual, terutama terhadap anak-anak di bawah umur sudah dalam kondisi darurat. Bagaimana masyarakat tidak resah, marah, dan frustrasi, karena pemerintah dan aparat penegak hukum seolah-olah tidak mampu menyentuh kejahatan-kejahatan seperti itu.
Hukum cenderung berpihak kepada penguasa, elite, dan kelompok tertentu, terhegemoni oleh lingkaran mafia. Dunia hukum kita mencatat sejarah kelam dalam kasus nenek Minah, pencuri tiga biji kakao di Banyumas; empat keluarga pencuri kapuk randu di Batang; remaja AAL pencuri sandal di Palu; atau Basar Suyanto dan Kholil yang mencuri semangka di Kediri. Di sisi lain, ketika hukum diharapkan membawa efek jera, 60-an persen vonis ringan justru menjadikan korupsi sebagai gaya hidup.
Hukum menampakan wajah kapitalis. Kartel impor bahan pangan yang menyengsarakan masyarakat seperti tak terjangkau. Warga tak berkutik menghadapi penggusuran tanah untuk lahan industri. Perselisihan buruh berakhir dengan kekerasan. Di sisi lain, penguasa, pejabat, dan elite serta anak-cucunya seakan-akan kebal hukum. Satu dekade reformasi tak mengubah keadaan, bahkan makin parah. Hukum hanya menjadi alat kepentingan mempertahankan kekuasaan dan penguasaan modal.
Apakah memang masyarakat terlalu toleran terhadap tindakan diskriminatif penegak hukum, sehingga terjadi semacam pembiaran? Kita seolah-olah mahfum akan kentalnya hukum transaksional untuk mendapat keistimewaan, kebebasan, dan kekebalan. Krisis kepercayaan kepada hukum pun akhirnya tak terhindarkan. Lalu bagaimana jika masyarakat memilih mencari jalan keluar sendiri untuk mencari keadilan? Kita tentu tidak ingin tragedi-tragedi pada awal reformasi terulang kembali.
Kalangan pengamat menilai, tindakan main hakim sendiri disebabkan oleh banyak hal. Diantaranya adalah perasaan tidak percaya masyarakat terhadap ketegasan aparat dalam menegakan hukum. Banyaknya pelaku kejahatan yang lolos dari jerat hukum dan sebagainya. Lemahnya penegakan hukum terlihat dari banyaknya kasus main hakim sendiri.
Tak bisa dipungkiri bahwa apa yang terjadi di masyarakat saat ini adalah cerminan dari hippermoralitas, hippermoralitas merupakan suatu keadaan atau situasi dimana anggota masyarakat tidak bisa menentukan mana yang baik atau yang buruk. “Yang jelek dianggap benar, kadang yang benar dianggap jelek. Semua serba abu-abu. Hal itu membuat masyarakat yang menghakimi pencuri, pencopet atau penjambret menjadi seolah-olah merupakan tindakan yang benar. “Padahal memukul hingga luka parah bahkan meninggal secara hukum dan moral tetap saja salah. Karena sama saja kita tidak jauh berbeda dengan mereka.
Selain itu formalisme tersebut terjadi juga karena dampak reformasi yang sudah berlebihan. “Dimana orang menjadi bebas melakukan sesuatu tanpa ada batasannya, padahal kebebasan itu tidak bisa sebebas-bebasnya tetapi ada batasannya. Aparat pemerintah yang semakin tidak berwibawa di kalangan masyarakat. Bahkan aturan yang ada menjadi tidak berfungsi

Mencegah Tindakan Main Hakim Sendiri

Tindakan main hakim sendiri tidak boleh terjadi di Indonesia yang katanya dikenal sebagai masyarakat yang beradab dan bermoral. Perlu ada kesadaran baik dari masyarakat maupun pemerintah, terutama aparat penegak hukum.  Apalagi dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri Tahun 2013, pejabat pemerintah baik pusat maupun daerah harus lebih tanggap. untuk mengantisipasi masalah tersebut, harus ada kerjasama antara tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat pemerintah, kepolisian, Lembaga Swadaya Masyarakat dan lainnya. “Tokoh-tokoh masyarakat tersebut harus mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa tindakan kekerasan dalam hal apapun tidak diperbolehkan. Tindakan dalam menangani sesuatu tetap tidak diperbolehkan, selain itu perlu ada keseragaman langkah dengan masyarakat antara lain:

1. pertama, pererat komunikasi antara penegak hukum dengan masyarakat. Beri kesadaran akan pentingnya penegak hukum bagi keamanan masyarakat. Intensitas komunikasi antara penegak hukum dengan masyarakat akan meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum di negeri ini.

2. Kedua, penegakan hukum yang tegas dan transparan. Penegakan hukum yang jelas atau sesuai dengan standar hukum yang berlaku akan memberikan kepuasan kepada masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan para penegak hukum. Dalam hal kasus penyerangan lapas Cebongan, transparansi sudah dilakukan dan hal tersebut mendapatkan apresiasi dari masyarakat. Semoga ini bisa menjadi pemicu agar masyarakat tidak lagi menyelesaikan segala persoalan dengan main hakim sendiri
Masih terjadinya sejumlah aksi kekerasan diatas, seharusnya dapat dicegah apabila tingkat kesadaran hukum masyarakat tinggi yang tentu harus dibarengi dengan ketegasan aparat penegak hukum. Demikian pula ketegasan pemimpin, yang akan membuat nyaman petugas penegak hukum dalam bertindak.
Agar hukum dipercaya masyarakat, pemerintah dituntut serius membangun dan menguatkan sistem hukum yang berfungsi sesuai treknya; tidak ada diskriminasi terhadap siapa pun yang berurusan dengan hukum. Kita menunggu komitmen penguasa dan elite untuk bertindak konkret, sedikit bicara banyak kerja. Rakyat berharap hukum bukan sekadar produk politik untuk melindungi kepentingan tertentu, melainkan yang berkeadilan, melindungi semua orang dan golongan tanpa diskriminasi.
kita tentunya tidak berharap negara yang kita cintai Indonesia hancur begitu saja, kita tentunya tidak mengharapkan negeri  ini berada di ujung kehancuran, dimana hukum sudah tidak dianggap, hukum rimba berlaku dan merajalela, yang kuat menindas yang lemah, sehingga akhirnya kita menjadi homo homini lupus (manusia serigala) yang saling memangsa antara yang satu dengan yang lainnya.
Tapi satu yg hal pasti, kalau “kita semua” tidak ada yg melakukan sesuatu apapun itu, baik itu dengan cara halus atau kasar dan sadar sendiri atau disadari oleh orang lain, maka tinggal tunggu waktu negara ini hancur dgn sendirinya. ibarat kaki borokan tapi di diamkan dan dibiarkan saja, lama-lama bisa diamputasi atau bahkan bisa menyebabkan kematian tragis. Sudah saatnya semua elemen berkomitmen untuk menyelamatkan negeri ini dari ujung kehancuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar